Perbedaan Antara Penelitian Kualitatif dengan Kuantitatif
Daftar Isi
Perbedaan Penelitian Kualitatif dengan Kuantitatif
Pendekatan Kuantitatif:
- Mendasarkan diri pada angka
- Mengambil jarak dari situasi alamiah
- Cara berpikir deduktif
- Reduktif
- Menekankan keajegan-statis, mekanistis
- Orientasi universalitas, generalisasi jlh
- Menjaga objektivitas denga menerapkan jarak dan aturan ketat
- Design tegas ditentukan dari awal
- Linier
- Peneliti salah satu aspek dari banyak aspek lainnya
Pendekatan Kualitatif:
- Mendasarkan diri pada kekuatan narasi
- Studi dalam situasi alamiah
- Cara berpikir induktif
- Perspektif holistik
- Perspektif perkembangan dinamis
- Orientasi kasus unik
- Cara memperoleh data: netral-empatis
- Ada fleksibilitas desain
- Sirkuler
- Peneliti instrumen kunci
image source: baseline360(dot)org |
Baca juga: Teori Penelitian Kualitatif: Reliabilitas, Validitas, dan Generalisasi
Ciri Masalah yang Tepat untuk Pendekatan Kuantitatif ataupun Kualitatif?
- Bila anda tertarik pada elemen psikologi secara terpisah, ingin membandingkan antara manusia yang satu dan yang lainnya maka pendekatan kuantitatif lebih cocok.
- Kalau anda tertarik untuk memahami manusia dalam segala kompleksitasnya maka kualitatif lebih cocok.
Berikut Contoh Penelitian Kualitatif (M. Anwar Fuadi, 2011):
Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual:
Sebuah Studi Fenomenologi
M. Anwar Fuadi
Abstract
Purpose of this study was to find out how the sexual violence occurs, the psychological impact of sexual violence, and knowing how psychological dynamics of sexual assault victims. Subjects in this study were the two people taken purposively with the criteria had experienced sexual violence. Methodology in qualitative research is phenomenological. There are four processes in a phenomenological approach that is epoche, phenomenological reduction, imaginative variation and synthesis of meaning. Data analysis process involves bracketing, horizonalizing, and meaning units to get the textural description.
The results of this study indicate that the psychological impact of the subjects who are victims of sexual violence is the presence of post-traumatic stress disorder. Besides having a psychological impact, psychological dynamics of the subjects in this study also have similarities, but there are some striking differences. The big difference in the impact and psychological dynamics is caused by several factors such as personality characteristics, how to solve problems, how to manipulate cognition, and social support.
Pengantar
Dewasa ini banyak kita temui kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak dan remaja. Kasus kekerasan seksual sebagian besar dialami remaja putrid. Setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan. Penelitian dari Abar & Subardjono (1998), menunjukkan bahwa berdasarkan data usia pelaku perkosaan, dapat dikatakan bahwa pelaku perkosaan tidak mengenal usia. Yayasan kepedulian untuk Anak (KAKAK) Surakarta selama tahun 2000 mencatat telah terjadi 90 kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak yang korbannya mencapai 18 orang (Suara Merdeka, 2001), ini menunjukkan betapa banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.Solihin (2004) dalam penelitiannya dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia melalui Center for tourism research and development Universitas Gadjah Mada melaporkan child abuse yang terjadi dari tahun 1999-2002 di 7 kota besar di kota besar di Indonesia ditemukan sebanyak 3.969 kasus dengan rincian sexsual abuse 65,8%, physical abuse 19,6%, emotional abuse 6,3%, dan child neglect 8,3%.
Whitffen dan MacIntosh (dalam Rice, 1999) menemukan bahwa pengalaman kekerasan seksual pada masa anak-anak berhubungan dengan stres emosional pada masa dewasa (adult emotional distress) dan kesulitan menjalin relasi intim pada saat dewasa.
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti berinisiatif untuk melakukan penelitian dengan melakukan analisis dan studi fenomenologi tentang dampak psikologis korban kekerasan seksual. Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis tentang bagaimana dan mengapa terjadi kekerasan seksual, melakukan analisis dampak psikologis pada korban kekerasan seksual, dan mengetahui dinamika kepribadian korban kekerasan seksual.
Kerangka Kerja Teoritik Poerwandari (2000) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakantindakan lain yang tidak dikehendaki oleh korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dengan kekerasan fisik maupun tidak; memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban.
Sisca & Moningka (2009) mengatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada masa kanak-kanak merupakan suatu peristiwa krusial karena membawa dampak negatif pada kehidupan korban di masa dewasanya. Angka kasus kekerasan seksual pada anak meningkat setiap tahunnya.
Mboiek (1992) dan Stanko (1996) mendefinisikan keke rasan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan laki- laki dan ditujukan kepada perempuan dalam bidang seksual yang tidak disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya.
Suhandjati (2004) mengatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai korban kekerasan apabila menderita kerugian fisik, mengalami luka atau kekerasan psikologis, trauma emosional, tidak hanya dipandang dari aspek legal, tetapi juga sosial dan kultural. Bersamaan dengan berbagai penderitaan itu, dapat juga terjadi kerugian harta benda.
The nation center on child abuse and neglect 1985, (Tower, 2002) menyebutkan beberapa jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya, yaitu:
Faham gender memunculkan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang sementara diyakini sebagai kodrat Tuhan. Sebagai kodrat Tuhan akibatnya tidak dapat dirubah. Oleh karena gender bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir dan berperilaku dalam masyarakat. Perbedaan perempuan dan laki-laki akibat gender ternyata melahirkan ketidak adilan dalam bentuk sub-ordinasi, dominasi, diskriminasi, marginalisasi, stereotype. Bentuk ketidak adilan tersebut merupakan sumber utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Teori Feminis Radikal berpandangan bahwa adanya pemisahan ranah publik dan ranah privat yang menyebabkan perempuan mengalami ketertindasan. Pengertian ranah publik mengandung arti yang lebih tinggi tingkatannya dari ranah privat dan ini merupakan awal sistem patriarki yang menyebabkan perempuan berada pada posisi tertindas (Arivia, 2003). Dampak yang muncul dari kekerasan seksual kemungkinan adalah depresi, fobia, dan mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama.
Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri (Sulistyaningsih & Faturochman, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh MS Magazine (dalam Warshaw, 1994) menunjukkan bahwa 30% dari perempuan yang diindetifikasi mengalami perkosaan bermaksud untuk bunuh diri, 31% mencari psikoterapi, 22% mengambil kursus bela diri, dan 82% tidak dapat melupakan.
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, H.I., Sadock, B. J., & Grebb, J.A., 1997). Hikmat (2005) mengatakan PTSD sebagai sebuah kondisi yang muncul setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan dan mengancam jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau perang. Grinage (2003) menyebutkan kriteria diagnosis PTSD meliputi: (1) Kenangan yang mengganggu atau ingatan tentang kejadian pengalaman traumatik yang berulang-ulang, (2) perilaku menghindar, (3) muncul gejala-gejala berlebihan terhadap sesuatu yang mirip saat kejadian traumatik, dan (4) tetap adanya gejala tersebut minimal satu bulan. Selain itu, kriteria diagnostik ditegakkan berdasar kriteria diagnostik gangguan stress akut berdasar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders III-Revisi atau DSM III-R, dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang, kriteria tersebut adalah:
PTSD dapat disembuhkan apabila segera terdeteksi dan mendapatkan penanganan yang tepat. Apabila tidak terdeteksi dan dibiarkan tanpa penanganan, maka dapat mengakibatkan komplikasi medis maupun psikologis yang serius yang bersifat permanen yang akhirnya akan mengganggu kehidupan sosial maupun pekerjaan penderita. (Flannery, 1999).
Depresi Beck (1967) mendefinisikan depresi sebagai adanya penurunan mood, kesedihan, pesimisme tentang masa depan, retardasi dan agitasi, sulit berkonsentrasi, menyalahkan diri sendiri, lamban dalam berpikir serta serangkaian tanda vegetatif seperti gangguan dalam nafsu makan maupun gangguan dalam hal tidur.
Louis dkk. (1996) mengatakan bahwa depresi berhubungan dengan kognisi yang mengalami distorsi.
Leitenberg & Wilson (1986) menyatakan bahwa mereka yang depresi menunjukkan kontrol diri rendah, yaitu evaluasi diri yang negatif, harapan terhadap performance rendah, suka menghukum diri dan sedikit memberikan hadiah terhadap diri sendiri.
Sue, et. al (1986) mendefinisikan depresi sebagai suatu keadaan emosi yang mempunyai karakteristik seperti perasaan sedih, perasaan gagal dan tidak berharga, dan menarik diri dari orang lain ataupun lingkungan.
Beck (1967) sendiri membuat simtom-simtom depresi menjadi simtom-simtom emosional, kognitif, motivasional dan vegetatif fisik. Secara rinci Beck menjelaskan lebih lanjut, sebagai berikut:
Dari penjelasan diatas, penelitian ini mengajukan beberapa pertanyaan penelitian:
- Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga.
- Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga.
- Kekerasan Perspektif Gender
Faham gender memunculkan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang sementara diyakini sebagai kodrat Tuhan. Sebagai kodrat Tuhan akibatnya tidak dapat dirubah. Oleh karena gender bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir dan berperilaku dalam masyarakat. Perbedaan perempuan dan laki-laki akibat gender ternyata melahirkan ketidak adilan dalam bentuk sub-ordinasi, dominasi, diskriminasi, marginalisasi, stereotype. Bentuk ketidak adilan tersebut merupakan sumber utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Teori Feminis Radikal berpandangan bahwa adanya pemisahan ranah publik dan ranah privat yang menyebabkan perempuan mengalami ketertindasan. Pengertian ranah publik mengandung arti yang lebih tinggi tingkatannya dari ranah privat dan ini merupakan awal sistem patriarki yang menyebabkan perempuan berada pada posisi tertindas (Arivia, 2003). Dampak yang muncul dari kekerasan seksual kemungkinan adalah depresi, fobia, dan mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama.
Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri (Sulistyaningsih & Faturochman, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh MS Magazine (dalam Warshaw, 1994) menunjukkan bahwa 30% dari perempuan yang diindetifikasi mengalami perkosaan bermaksud untuk bunuh diri, 31% mencari psikoterapi, 22% mengambil kursus bela diri, dan 82% tidak dapat melupakan.
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, H.I., Sadock, B. J., & Grebb, J.A., 1997). Hikmat (2005) mengatakan PTSD sebagai sebuah kondisi yang muncul setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan dan mengancam jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau perang. Grinage (2003) menyebutkan kriteria diagnosis PTSD meliputi: (1) Kenangan yang mengganggu atau ingatan tentang kejadian pengalaman traumatik yang berulang-ulang, (2) perilaku menghindar, (3) muncul gejala-gejala berlebihan terhadap sesuatu yang mirip saat kejadian traumatik, dan (4) tetap adanya gejala tersebut minimal satu bulan. Selain itu, kriteria diagnostik ditegakkan berdasar kriteria diagnostik gangguan stress akut berdasar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders III-Revisi atau DSM III-R, dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang, kriteria tersebut adalah:
- Orang yang telah mengalami, menyaksikan dan dihadapkan pada suatu kejadian traumatik..
- Merupakan salah satu keadaan dari ketika seseorang mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan.
- Kejadian traumatik yang secara menetap dialami kembali dalam episode kilas balik yang berulang-ulang.
- Penghindaran pada stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma.
- Gejala kecemasan yang nyata atau peningkatan kesadaran.
- Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, yang mengganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan.
- Bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat atau kondisi medis umum (Rose, S, J. Bisson & S. Wessely., 2002).
Depresi Beck (1967) mendefinisikan depresi sebagai adanya penurunan mood, kesedihan, pesimisme tentang masa depan, retardasi dan agitasi, sulit berkonsentrasi, menyalahkan diri sendiri, lamban dalam berpikir serta serangkaian tanda vegetatif seperti gangguan dalam nafsu makan maupun gangguan dalam hal tidur.
Louis dkk. (1996) mengatakan bahwa depresi berhubungan dengan kognisi yang mengalami distorsi.
Leitenberg & Wilson (1986) menyatakan bahwa mereka yang depresi menunjukkan kontrol diri rendah, yaitu evaluasi diri yang negatif, harapan terhadap performance rendah, suka menghukum diri dan sedikit memberikan hadiah terhadap diri sendiri.
Sue, et. al (1986) mendefinisikan depresi sebagai suatu keadaan emosi yang mempunyai karakteristik seperti perasaan sedih, perasaan gagal dan tidak berharga, dan menarik diri dari orang lain ataupun lingkungan.
Beck (1967) sendiri membuat simtom-simtom depresi menjadi simtom-simtom emosional, kognitif, motivasional dan vegetatif fisik. Secara rinci Beck menjelaskan lebih lanjut, sebagai berikut:
- Simtom Emosional, merupakan perubahan perasaan atau tingkah laku yang merupakan akibat langsung dari keadaan perasaannya.
- Simtom Kognitif, manifestasi kognitif yang muncul, antara lain adanya penilaian diri yang rendah, harapan-harapan yang negatif, menyalahkan dan mengkritik diri sendiri, tidak dapat memutuskan dan adanya distorsi body image.
- Simtom Motivasional, berkaitan dengan hasrat dan ketergugahan penderita yang cenderung regresif. Istilah regresif dikaitkan dengan aktivitas yang dilakukan, dengan derajat tanggung jawab atau dengan banyaknya energi yang akan digunakan.
- Simtom Gejala Fisik – Vegetatif, perwujudan gejala vegetatif dan fisik benar-benar dipertimbangkan peneliti sebagai bukti untuk melihat gangguan otonom atau hypothalamic yang bertanggung jawab terhadap keadaan depresi.
- Mengapa terjadi kekerasan terhadap korban?
- Bagaimana dampak psikologis korban kekerasan seksual?
- Bagaimana dinamika kepribadian korban kekerasan seksual?
Metode
Pedekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Penelitian psikologis fenomenologis bertujuan untuk mengklarifikasi situasi yang dialami dalam kehidupan seseorang sehari-hari (Giorgi & Giorgi, 2008). Subyek penelitan memiliki kriteria (a) perempuan yang mengalami kekerasan seksual, (b) usia 10-23 tahun, dan (c) Suku jawa. Informan dalam penelitian ini adalah orang tua dan 2 orang pendamping lapangan LSM yang salah satunya merupakan teman dekat subyek, jumlah informan penelitian 3 orang dipilih berdasarkan kedekatan dengan subyek penelitian. Data dalam penelitian ini juga menggunakan dokumen tertulis dan tidak tertulis untuk memberikan informasi tambahan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan prosedur analisis dan intepretasi data sebagai berikut:- Memulai dengan deskripsi tentang pengalama peneliti terhadap fenomena
- Membuat pertanyaan dalam interview untuk mengetahui bagaimana subyek mengalami fenomena tersebut, dan mengembangkan daftar pernyataan.
- Pernyataan dikelompokkan kedalam unit-unit makna, membuat daftar dari unit-unit tersebut dan menuliskan deskripsi tekstural dari pengalaman.
- Membuat refleksi berdasarkan deskripsinya sendiri dengan menggunakan deskripsi struktural. Mencari semua makna yang memungkinkan dan perspektif divergen. Memperkaya kerangka pemahaman dari fenomena, dan membuat deskripsi tentang fenomena tersebut.
- Membuat deskripsi keseluruhan dari makna dan esensi dari pengalaman.
- Membuat composite textural-structural description dari makna-makna dan esensi pengalaman, lalu mengintegrasikan semua deskripsi struktural individu menjadi deskripsi universal dari pengalaman yang mewakili responden secara keseluruhan (Moustakas, 1994).
Dampak Psikologis
Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional.- Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-hari.
- Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
- Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana hati serta menyalahkan diri sendiri.
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi tidak sesederhana dampak psikologisnya. Korban akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang lain. Setelah mengalami kekerasan seksual berbagai macam penilaian terhadap masalah yang dialami subyek bermacam-macam muncul perasaan sedih, tidak nyaman, lelah, kesal dan bingung hingga rasa tidak berdaya muncul. Subyek berusaha mengevaluasi sumber stress yang muncul (primary apparsial) dengan menilai apakah suatu situasi menimbulkan stress pada dirinya (Folkman, 1986).
Dari berbagai penjelasan diatas dapat diketahui bahwa dampak psikologis kekerasan seksual yang diterima oleh subyek pertama (S1) dan subyek dua (S2) adalah gejala post traumatic stress disorder (PTSD). Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah suatu reaksi psikologis yang dapat terjadi sebagai akibat dari suatu pengalaman traumatic yang mengancam hidup atau menghadapi situasi stres yang sangat ekstrim yang pada umumnya ditandai dengan adanya depression, anxiety, flashbacks, recurrent nightmares, and avoidance of reminders of the event. Zuhri (2009) mengatakan bahwa beberapa orang mengalami gejala adanya Post Traumatic Stress Disorder ditunjukan dengan adalah adanya rasa waswas apabila berhadapan dengan situasi/ keadaan yang mirip saat kejadian, merasa ingin menghindari dari situasi/keadaan yang membawa kenangan saat terjadinya, keadaan ini dirasakan lebih dari 2 bulan pasca kejadian.
Dalam hal ini subyek berusaha mengatasi keadaan ini dengan banyak sharing dengan orang lain yang dipercayainya tentang kondisinya sehingga membuat kondisi subyek lebih tenang. Selain mengalami stress pasca trauma, subyek juga mengalami depresi akibat dari kejadian yang menekan tersebut. Subyek berpandangan bahwa dirinya sudah tidak berguna lagi, merasa tidak memiliki masa depan dan menganggap dunia ini kejam. Depresi juga merupakan gangguan yang terutama ditandai oleh kondisi emosi sedih dan muram serta terkait dengan gejala-gejala kognitif, fisik, dan interpersonal (APA, dalam Aditomo & Retnowati, 2004).
Sikap dan keyakinan negatif yang dialami oleh subyek disebabkan oleh distorsi kognitif, interpretasi negatif terhadap pengalaman yang diterima, evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan harapan negatif akan masa depan. Sumber permasalahan bisa berasal dari masa Perkembangan awal sebagaimana pandangan psikoanalisis (Beck, 2008).
Keadaan seperti inilah yang kemudian akan membuat individu dengan tekanan-tekanan yang dihadainya menjadi indvidu baru yang lebih siap menghadapi realita kehidupan Semantara kaitannya dengan teori Glasser adalah terjadinya pergulatan antara kognisi dan perasaan yang mana didalam pergulatan tersebut terdapat beberapa kebutuhan seperti yang telah dijelaskan oleh Glasser yang meliputi need to survive atau kebutuhan untuk bertahan hidup, need to love and belonging atau kebutuhan untuk dimiliki, need to gain power atau kebutuhan untuk memperoleh kekuasaan, need to be freedom atau kebutuhan untuk bebas, dan need to have fun atau kebutuhan untuk bersenang-senang. Awalnya sebelum mendapatkan dukungan sosial subyek memiliki berbagai pandangan negatif terhadap dirinya. Subyek merasa rendah diri, tidak berharga, merasa kotor dan tidak berdaya lagi. Pikiran-pikiran negatif yang dimiliki ini terjadi berulang-ulang sampai pada akhirnya menjadi negative belief yang terekam dalam sistem kognisi subyek.
Negative belief yang dimiliki oleh subyek tersebut kemudian di repress dalam diri subyek yang kemudian membuat subyek menjadi terkekang dalam keadaan simpatik yang sifatnya kronik/dalam. Keadaan seperti ini kemudian dibekukan oleh kondisi emosioal subyek dan tetap tersimpan dalam diri subyek. Adaya pembekuan negative belief pada diri subyek ini kemudian berpengaruh pada kondisi kesehatan subyek sendiri yang pada akhirnya subyek belum mampu meminimalisir tekanan.
Keadaan berbeda ketika subyek mendapatkan dukungan sosial dari berbagai pihak. Disaat mendapatkan dukungan sosial inilah kemudian subyek berupaya memanipulasi kognisinya dengan melakukan menghindar dan melakukan penyangkalan bahwa yang terjadi tidaklah seburuk apa yang dipikirkan. Manipulasi kognisi yang disertai dengan dukungan sosial inilah kemudian membantu subyek untuk mampu membantuk strategi coping atas segala permasalahan yang dihadapinya. Adanya strategi coping yang telah dimiliki ini, kemudian menjadikan subyek sebagai sosok yang lebih berani dibandingkan sebelum subyek mendapatkan dukungan sosial. Kondisi seperti yang telah dijelaskan di atas sesuai apa yang dikatanakan oleh Aldwin & Revenson (1987) bahwa individu akan melakukan usaha-usaha yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat untuk ikut serta memikirkan atau menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Di lingkungan yang baru subyek kembali menemukan kehidupan dan keceriaannya. Hal ini seperti apa yang dikemukakan oleh Carver, C.S., Scheier, M.F., & Weintraub , J.K., (1989) yaitu subyek berusaha memikirkan bagaimana mengatasi tekanan, memikirkan tindakan yang diambil dan menentukan cara penanganan terbaik untuk memecahkan masalah. Sementara untuk subyek kedua (S2) hanya mengalami 1 periode dinamika psikologis. Untuk meminimalisir tekanan-tekanan psiologis yang menimpanya subyek memiliki beberapa strategi coping, yaitu:
Perilaku traumatis tersebut adalah stress pasca trauma (PTSD), dengan ditandai adanya penilaian diri yang rendah, pengabaian terhadap diri sendiri, adanya perubahan mood dan perilaku, adanya kenangan-kenangan yang mengganggu serta ganguan tidur. Adapun dinamika psikologis subyek sebelum men dapatkan dukungan sosial subyek memiliki berbagai pan dangan negatif terhadap dirinya. Pikiran-pikiran negatif yang dimiliki ini terjadi berulang-ulang sampai pada akhirnya menjadi negative belief yang terekam dalam sistem kognisi subyek. Negative belief yang dimiliki oleh subyek selanjutnya di repress dalam diri subyek yang kemudian membuat subyek menjadi terkekang dalam keadaan simpatik yang sifatnya kronik/dalam. Keadaan seperti ini kemudian dibekukan oleh kondisi emosioal subyek dan tetap tersimpan dalam diri subyek.
Adaya pembekuan negative belief pada diri subyek ini kemudian berpengaruh pada kondisi psikis dan psikologis subyek. Keadaan berbeda ketika subyek mendapatkan dukungan sosial. Disaat mendapatkan dukungan sosial subyek berupaya memanipulasi kognisinya dengan melakukan penyangkalan bahwa yang terjadi tidaklah seburuk apa yang dipikirkan. Manipulasi kognisi yang disertai dengan dukungan sosial inilah kemudian membantu subyek untuk mampu membantuk strategi coping atas segala permasalahan yang dihadapinya. Untuk meminimalisir tekanan-tekanan psiologis yang menimpanya subyek memiliki beberapa strategi coping, yaitu: (a) mencari dukungan sosial dari LSM (b) mengikuti kegiatan konseling, (c) menggunakan aktivitas alternatif untuk melupakan rasa kecewa atas perilaku traumatis, (d) mengembalikan semua kejadian yang menimpanya pada yang Maha Kuasa, (e) berusaha membangun suatu pemikiran yang positif (f) mencari dukungan moral, simpati dan pemahaman terhadap stresor yang dihadapinya.
Dari berbagai penjelasan diatas dapat diketahui bahwa dampak psikologis kekerasan seksual yang diterima oleh subyek pertama (S1) dan subyek dua (S2) adalah gejala post traumatic stress disorder (PTSD). Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah suatu reaksi psikologis yang dapat terjadi sebagai akibat dari suatu pengalaman traumatic yang mengancam hidup atau menghadapi situasi stres yang sangat ekstrim yang pada umumnya ditandai dengan adanya depression, anxiety, flashbacks, recurrent nightmares, and avoidance of reminders of the event. Zuhri (2009) mengatakan bahwa beberapa orang mengalami gejala adanya Post Traumatic Stress Disorder ditunjukan dengan adalah adanya rasa waswas apabila berhadapan dengan situasi/ keadaan yang mirip saat kejadian, merasa ingin menghindari dari situasi/keadaan yang membawa kenangan saat terjadinya, keadaan ini dirasakan lebih dari 2 bulan pasca kejadian.
Dalam hal ini subyek berusaha mengatasi keadaan ini dengan banyak sharing dengan orang lain yang dipercayainya tentang kondisinya sehingga membuat kondisi subyek lebih tenang. Selain mengalami stress pasca trauma, subyek juga mengalami depresi akibat dari kejadian yang menekan tersebut. Subyek berpandangan bahwa dirinya sudah tidak berguna lagi, merasa tidak memiliki masa depan dan menganggap dunia ini kejam. Depresi juga merupakan gangguan yang terutama ditandai oleh kondisi emosi sedih dan muram serta terkait dengan gejala-gejala kognitif, fisik, dan interpersonal (APA, dalam Aditomo & Retnowati, 2004).
Sikap dan keyakinan negatif yang dialami oleh subyek disebabkan oleh distorsi kognitif, interpretasi negatif terhadap pengalaman yang diterima, evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan harapan negatif akan masa depan. Sumber permasalahan bisa berasal dari masa Perkembangan awal sebagaimana pandangan psikoanalisis (Beck, 2008).
Dinamika Psikologis
Sebelum menghadapi banyaknya masalah yang dihadapi subyek juga dihadapkan dengan berbagai pandangan orang yang mengetahui perihal kejadian yang menimpa subyek. Tekanan-tekanan dari lingkungan luar ini yang membuat subyek harus memutar otak untuk memanipulasi setiap permasalahan yang dimilikinya. Adapun gambaran dinamika psikologis yang didapat adalah sebagai berikut: Sementara sistem kognisi yang mendapatkan dukungan sosial dari keluarga maupun lingkungan sosial, akan membuat individu memanipualasi kognisi atas tekanan-tekanan yang dihadapi. Ketika gagal individu akan kembali pada pikiran negatifnya, namun ketika berhasil hal tersebut akan berlanjut pada strategi individu dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahanya.Keadaan seperti inilah yang kemudian akan membuat individu dengan tekanan-tekanan yang dihadainya menjadi indvidu baru yang lebih siap menghadapi realita kehidupan Semantara kaitannya dengan teori Glasser adalah terjadinya pergulatan antara kognisi dan perasaan yang mana didalam pergulatan tersebut terdapat beberapa kebutuhan seperti yang telah dijelaskan oleh Glasser yang meliputi need to survive atau kebutuhan untuk bertahan hidup, need to love and belonging atau kebutuhan untuk dimiliki, need to gain power atau kebutuhan untuk memperoleh kekuasaan, need to be freedom atau kebutuhan untuk bebas, dan need to have fun atau kebutuhan untuk bersenang-senang. Awalnya sebelum mendapatkan dukungan sosial subyek memiliki berbagai pandangan negatif terhadap dirinya. Subyek merasa rendah diri, tidak berharga, merasa kotor dan tidak berdaya lagi. Pikiran-pikiran negatif yang dimiliki ini terjadi berulang-ulang sampai pada akhirnya menjadi negative belief yang terekam dalam sistem kognisi subyek.
Negative belief yang dimiliki oleh subyek tersebut kemudian di repress dalam diri subyek yang kemudian membuat subyek menjadi terkekang dalam keadaan simpatik yang sifatnya kronik/dalam. Keadaan seperti ini kemudian dibekukan oleh kondisi emosioal subyek dan tetap tersimpan dalam diri subyek. Adaya pembekuan negative belief pada diri subyek ini kemudian berpengaruh pada kondisi kesehatan subyek sendiri yang pada akhirnya subyek belum mampu meminimalisir tekanan.
Keadaan berbeda ketika subyek mendapatkan dukungan sosial dari berbagai pihak. Disaat mendapatkan dukungan sosial inilah kemudian subyek berupaya memanipulasi kognisinya dengan melakukan menghindar dan melakukan penyangkalan bahwa yang terjadi tidaklah seburuk apa yang dipikirkan. Manipulasi kognisi yang disertai dengan dukungan sosial inilah kemudian membantu subyek untuk mampu membantuk strategi coping atas segala permasalahan yang dihadapinya. Adanya strategi coping yang telah dimiliki ini, kemudian menjadikan subyek sebagai sosok yang lebih berani dibandingkan sebelum subyek mendapatkan dukungan sosial. Kondisi seperti yang telah dijelaskan di atas sesuai apa yang dikatanakan oleh Aldwin & Revenson (1987) bahwa individu akan melakukan usaha-usaha yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat untuk ikut serta memikirkan atau menyelesaikan masalah yang dihadapi.
- Seeking social support for instrumental reasons, semenjak didatangi oleh LSM subyek merasa mendapatkan dukungan sosial dari LSM yang bergerak dalam pemberdayaan anak dan perempuan yang kurang beruntung.
- Seeking social support for emotional reasons, subyek mengikuti kegiatan konseling yang dilakukan oleh LSM.
- Mental disengagement, subyek berupaya menggunakan aktivitas alternatif untuk melupakan rasa kecewa atas perilaku traumatisnya dengan mengikuti kursus menjahit yang diadakan oleh LSM.
- Turning to religion, subyek mengembalikan semua kejadian yang menimpanya pada yang Maha Kuasa, bahwa sesungguhnya Tuhan sudah menggariskan segala sesuatu yang akan terjadi pada setiap umatnya.
- Positive reinterpretation and growth, subjek berusaha membangun suatu pemikiran yang positif dengan mengambil hikmah atau manfaat dari kejadian menekan yang dialaminya.
- Seek social support for emotional reasons, subyek mencari dukungan moral, simpati dan pemahaman terhadap stresor yang dihadapinya, sehingga ia dapat menjadi tentram dengan adanya dukungan sosial.
Kesimpulan
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual dalam penelitian ini adalah: (a) Faktor kelalaian orang tua. (b) Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. dan (c) Faktor ekomoni.Dampak psikologis yang dihadapi oleh kedua subyek berbeda, hal ini disebabkan karena masing-masing subyek memiliki kepribadian, cara mengatasi masalah, cara memanipulasi kognisi, serta dukungan sosial yang berbeda. Meskipun dampaknya berbeda, namun secara umun hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku traumatis pada korban kekerasan seksual.Perilaku traumatis tersebut adalah stress pasca trauma (PTSD), dengan ditandai adanya penilaian diri yang rendah, pengabaian terhadap diri sendiri, adanya perubahan mood dan perilaku, adanya kenangan-kenangan yang mengganggu serta ganguan tidur. Adapun dinamika psikologis subyek sebelum men dapatkan dukungan sosial subyek memiliki berbagai pan dangan negatif terhadap dirinya. Pikiran-pikiran negatif yang dimiliki ini terjadi berulang-ulang sampai pada akhirnya menjadi negative belief yang terekam dalam sistem kognisi subyek. Negative belief yang dimiliki oleh subyek selanjutnya di repress dalam diri subyek yang kemudian membuat subyek menjadi terkekang dalam keadaan simpatik yang sifatnya kronik/dalam. Keadaan seperti ini kemudian dibekukan oleh kondisi emosioal subyek dan tetap tersimpan dalam diri subyek.
Adaya pembekuan negative belief pada diri subyek ini kemudian berpengaruh pada kondisi psikis dan psikologis subyek. Keadaan berbeda ketika subyek mendapatkan dukungan sosial. Disaat mendapatkan dukungan sosial subyek berupaya memanipulasi kognisinya dengan melakukan penyangkalan bahwa yang terjadi tidaklah seburuk apa yang dipikirkan. Manipulasi kognisi yang disertai dengan dukungan sosial inilah kemudian membantu subyek untuk mampu membantuk strategi coping atas segala permasalahan yang dihadapinya. Untuk meminimalisir tekanan-tekanan psiologis yang menimpanya subyek memiliki beberapa strategi coping, yaitu: (a) mencari dukungan sosial dari LSM (b) mengikuti kegiatan konseling, (c) menggunakan aktivitas alternatif untuk melupakan rasa kecewa atas perilaku traumatis, (d) mengembalikan semua kejadian yang menimpanya pada yang Maha Kuasa, (e) berusaha membangun suatu pemikiran yang positif (f) mencari dukungan moral, simpati dan pemahaman terhadap stresor yang dihadapinya.
Saran
Kekerasan dalam jenis dan bentuk apapun, tidak dapat ditoleransi dengan alasan apapun. Bagi subyek penelitian diharapkan untuk berhati-hati dalam memilih teman dalam pergaulan, jangan cepat percaya dan terlena oleh bujuk rayu serta iming-iming yang dijanjikan oleh orang lain baik yang sudah dikenal maupun belum. Hal terbaik yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman kepada diri sendiri tentang bagian tubuh mana dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang lain terhadap bagian tubuhnya.
Penenaman agama serta pemahaman ajaran agama yang mendalam juga bisa menjadi benteng untuk menghindari tindakan serta pergaulan bebas. Apabila memang sudah melakukan antisipasi namun masih mengalami kekerasan, lawanlah dengan kemampuan yang dimiliki. Hal ini akan membuat beban psikologis menjadi sedikit ringan dan mengurangi adanya penyesalan serta menumbuhkan rasa percaya diri apabia dibandingkan tanpa perlawanan. Perhatian orang tua serta dukungan terhadap anak juga merupakan faktor terpenting dalam proses meminimalisir terhadap kejadian-kejadian traumatis yang menimpa anak.
Penelitian ini menununjukkan bahwa dukungan sosial mampu meringankan beban berat yeng diterima oleh anak ketika menghadapi situasi-situasi sulit, oleh sebab itu hendaknya orang tua tidak serta merta menyalahkan anak akibat dari tekanan-tekanan yang melanda. Bagi peneliti yang akan mendatang diharapkan dapat memperluas jangkauan sudut pandang penelitian, baik dari segi etnografi maupun biopsikososiospiritual.
Penelitian ini menununjukkan bahwa dukungan sosial mampu meringankan beban berat yeng diterima oleh anak ketika menghadapi situasi-situasi sulit, oleh sebab itu hendaknya orang tua tidak serta merta menyalahkan anak akibat dari tekanan-tekanan yang melanda. Bagi peneliti yang akan mendatang diharapkan dapat memperluas jangkauan sudut pandang penelitian, baik dari segi etnografi maupun biopsikososiospiritual.
Sekian artikel Universitas Psikologi tentang Perbedaan Antara Penelitian Kualitatif dengan Kuantitatif. Semoga bermanfaat.
Posting Komentar