Norma dalam Pandangan Psikologi dan Perubahan Sosial
Daftar Isi
Dalam kehidupan bermasyarakat memerlukan aturan agar masyarakat dapat berjalan secara teratur. Aturan yang berlaku dalam masyarakat dinamakan norma. Norma dapat tertulis dan resmi atau formal (misalnya norma hukum), dapat tertulis tetapi tidak resmi (kitab suci) dan dapat tidak tertulis dan tidak resmi (norma adat, norma susila) (Zimbardo dalam Sarwono, 2001). Norma juga dapat berguna untuk melindungi diri dari ancaman pelanggaran hak dari orang atau kelompok atau pihak lain, melindungi diri dari kecelakaan, melindungi diri dari perasaan malu dan sebagainya.
Di Negara yang mengutamakan kebersamaan (kolektivisme) karena banyak hal-hal penting (perdagangan, perkawinan dan sebagainya), diputuskan melalui perundingan bersama, ketaatan pada aturan dianggap sebagai ciri kedewasaan dan kematangan pribadi (Markus dan Kitayama dalam Sarwono, 2001). Akan tetapi, di negara-negara di mana individualism dianggap lebih penting, taat pada aturan atau menyesuaiakan diri (conform) pada norma-norma yang berlaku sering kali dianggap sebagai ciri dari kepribadian yang tidak mempunyai pendirian, tidak kreatif, tidak mandiri dan sebagainya.
Di Negara yang mengutamakan kebersamaan (kolektivisme) karena banyak hal-hal penting (perdagangan, perkawinan dan sebagainya), diputuskan melalui perundingan bersama, ketaatan pada aturan dianggap sebagai ciri kedewasaan dan kematangan pribadi (Markus dan Kitayama dalam Sarwono, 2001). Akan tetapi, di negara-negara di mana individualism dianggap lebih penting, taat pada aturan atau menyesuaiakan diri (conform) pada norma-norma yang berlaku sering kali dianggap sebagai ciri dari kepribadian yang tidak mempunyai pendirian, tidak kreatif, tidak mandiri dan sebagainya.
Seniman, ilmuwan, dan para penemu yang kreatif justru adalah orang-orang yang tidak conform dengan norma-norma yang berlaku. Jadi manakah yang lebih baik? Konform pada norma atau tidak? Jika semua orang kreatif tanpa batas, akan timbul kekacauan masyarakat seperti yang dicontohkan di atas. Sebaliknya dalam masyarakat yang kolektif, diperlukan peluang-peluang untuk penonjolan pribadi-pribadi dan kreativitas.
Karena sifatnya subjektif, diperlukan penyesuaian diri dari individu kepada norma setiap kelompok yang akan ditemuinya atau dimana ia sudah menjadi anggota. Untuk menyesuaikan diri dapat ditempuh melalui tiga cara berikut:
1. Konformitas
Perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja (Kiesler & Kiesler dalam Sarwono, 2001).
2. Menurut (compliance)
Konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju. Bila perilaku tampil karena ada perintah namanya ketaatan.
3. Penerimaan (acceptance)
Konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan sosial. Misalnya, berganti agama sesuai keyakinannya sendiri, belajar bahasa daerah atau negara dimana ia ditugaskan/tinggal, memenuhi ajakan, teman-teman untuk membolos.
1. Penelitian M. Sherif
Hasil yang diperoleh bahwa kelompok cenderung menyepakati sesuatu dan cenderung bertahan pada kesepakatan itu, walaupun kesepakatan itu palsu atau tidak benar sama sekali. Hasil penelitian Sherif dikukuhkan kembali oleh Jacobs & Campbell yang mereplikasi eksperimen Sherif.
2. Penelitian Solomon Asch
Penelitian ini menyimpulkan bahwa tekanan kelompok sangat besar pengaruhnya dalam menetapkan penilaian atau pembuatan keputusan individu dalam kelompok. Di sisi dapat terjadi perubahan dari konformitas menjadi penerimaan.
3. Eksperimen Milgram
Eksperimen Milgram mengenai ketaatan atau kepatuhan sangat terkenal dan dianggap sebagai salah satu eksperimen yang klasik dalam psikologi sosial. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa Orang dapat berlaku kejam karena pengaruh situasi. Orang kebanyakan berpendapat bahwa orang jahat pun dapat berbuat jahat dan orang baik berbuat baik. Nyatanya orang baik pun dapat berbuat jahat (kejam). Gejala ini tergolong kesalahan karena kejahatan dianggap seakan-akan adalah atribusi internal, padahal sesungguhnya gejala itu merupakan atribusi eksternal (Miller dkk dalam Sarwono, 2001). Kekejaman yang dilakukan seseorang tersebut menurut Darley (dalam Sarwono, 2001) dikarenakan pelaku tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas perilakunya sendiri. Tanggung jawab pada atasannya.
Hal-hal yang menyebabkan orang menaati perintah yang melewati batas adalah sebagai berikut:
Semakin besar kelompoknya, semakin besar pula pengaruhnya, tetapi ada titik optimal (lebih dari lima orang pengaruhnya sama saja). Samping itu penelitian lain membuktikan bahwa kelompok yang kecil lebih memungkinkan konformitas daripada kelompok besar (Galam & Moscovici dalam Sarwono, 2001)
2. Suara bulat
Dalam hal harus dicapai suatu bulat, satu orang atau minoritas yang suaranya paling berbeda tidak dapat bertahan lama. Ia atau mereka merasa tidak enak. Ia atau mereka merasa tidak enak dan tertekan hingga akhirnya ia atau mereka menyerah kepada pendapat kelompok mayoritas.
3. Keterpaduan
Keterpaduan atau kohesi (cohesiveness) adalah perasaan kekitaan antaranggota kelompok. Semakin kuat rasa keterpaduan atau kekitaan tersebut, semakin besar pengaruhnya pada perilaku individu. Ajaran konfusius di Cina mengajarkan kepatuhan kepada anak melalui pengasuhan anak yang membentuk moralitas otoritariarisme sehingga rasa kekitaan kepada anak terhadap orang tuanya tetap besar, walaupun orang tua otoriter (Ho dalam Sarwono, 2001).
4. Status
Drisken & Mullen (dalam Sarwono, 2001) meneliti pada pejalan kaki. Ternyata 25% dari pejalan kaki menyebrang jalan tidak pada tempatnya. Akan tetapi, kalau ada contoh yang menyebrang sesuai dengan peraturan, jumlah pelanggar menurun sampai 17%. Sementara kalau contoh itu menyebrang tidak pada tempatnya, jumlah pelanggar naik menjadi 44%. Yang paling berpengaruh adalah jika contoh yang tidak melanggar peraturan itu berpakaian rapi. Sebaliknya, jika pakaian contoh itu sembarangan atau jika contoh yang berpakaian rapi itu melanggar, pengaruhnya tidak besar. Milgram (dalam Sarwono, 2001) juga menuliskan eksperimennya, semakin rendah status yang menjadi “contoh” semakin patuh, sedangkan semakin tinggi statusnya semakin cepat berhenti bahkan mengajukan protes. Penelitian di Amerika Serikat, Rusia dan Jepang menunjukkan bahwa atasan diharapkan lebih otonom, lebih mandiri. Atasan tidak diharapkan untuk conform atau patuh karena perilaku conform atau kepatuhan kepada seorang atasan justru tidak sesuai dengan norma (Hamilton & Sanders dalam Sarwono, 2001).
5. Tanggapan umum
Perilaku yang terbuka, yang dapat didengar atau dilihat umum lebih mendorong konformitas daripada perilaku, yang hanya dapat didengar atau diketahui oleh orang tertentu saja (Myers dalam Sarwono, 2001).
6. Komitmen umum
Deutch & Gerald (dalam Sarwono, 2001) mengungkapkan bahwa orang yang tidak mempunyai komitmen apa-apa kepada masyarakat atau orang lain, lebih mudah conform daripada yang sudah pernah mengucapkan suatu pendapat. Sekali sudah bicara, sulit untuk mengubahnya lagi karena orang pada umumnya tidak suka tampil tidak konsisten, takut dianggap tidak percaya (Allgeier dalam Sarwono, 2001).
1. Di Amerika Serikat, wanita lebih mudah conform daripada pria. Kemungkinan karena di negara berkembang seperti Indonesia kecenderungan ini lebih nyata. Ada dua kemungkinan penyebabnya, yaitu (1) kepribadian wanita lebih flexible (luwes, lentur) dan (2) status wanita lebih terbatas sehingga mereka tidak mempunyai banyak pilihan, kecuali menyesuaikan diri pada situasi.
2. Sebagian peneliti berpendapat bahwa tipe kepribadian ada pengaruhnya pada perilaku conform (Snyder & Ickes dalam Sarwono, 2001), tetapi sebagian yang lain tidak percaya bahwa pendapat itu, sedangkan yang sebagian lagi berpendapat bahwa walaupun tipe kepribadian tidak dapat untuk meramalkan timbulnya satu perilaku tertentu pada saat dan tempat tertentu, namum dalam rangkaian peristiwa dalam waktu yang panjang tipe kepribadian menentukan bagaimana pola reaksi atau perilaku seseorang dalam menghadapi jenis-jenis situasi. Contoh, situasi yang tidak jelas, tidak berstruktur (misalnya, dalam ruang tunggu dokter hanya ada dua orang tamu). Oleh karena itu, orang dengan kepribadian yang lebih dominan akan lebih mempengaruhi hubungan atau komunikasi antarkedua tamu tersebut (Iches dalam Sarwono, 2001).
3. Konformitas dan kepatuhan adalah gejala yang universal, tetapi bervariasi antarbudaya (Bond dalam Sarwono, 2001). Milgram mereplikasi eksperimennya dengan subjek orang-orang Norwegia dan Prancis. Ternyata orang Norwegia lebih conform dan patuh daripada orang Prancis.
Di Indonesia mungkin ibu-ibu bimbang dalam mendidik anak mereka untuk menjadi mandiri atau menurut. Menurut Kamii (dalam Sarwono, 2001) yang penting adalah bahwa tujuan mendidik anak bukan sekedar memberi hak untuk memutuskan, melainkan memberi keterampilan untuk membuat keputusan dari heteronomi (tergantung banyak pertimbangan orang lain) ke otonomi.
1. Jika ia merasa kebebasan atau hak-hak pribadinya terancam. Dalam keadaan ini, ia akan melakukan perlawanan (reactance). Contohnya adalah kisah Siti Nurbaya yang memberontak pada seluruh keluarga dan masyarakatnya ketika ia diharuskan menikah dengan lintah darat Datuk Maringgi, sementara ia sudah mempunyai kekasih, Syamsulbahri. Dalam keadaan reactance ini, semakin besar tekanan sosial, semakin kuat perlawannya. Siti Nurbaya semakin melawan ketika ibunya semakin memaksanya untuk menikah dengan Datuk Maringgi. Nasihat-nasihat dan perintah-perintah ibunya tidak mempan pada diri Siti Nurbaya bahkan memberi efek balik pada ibu itu sendiri sehingga sang ibu semakin frustasi dan marah. Dampak negative pada sang ibu itu dinaman efek boomerang (Brehm & Brehm dalam Sarwono, 2002). Dalam kehidupan sehari-hari gejala ini sering kita dapati pada remaja yang semakin lama semakin nakal karena ibunya semakin cerewet menasehatinya. Dalam kelompok, efek boomerang ini tampak juga pada kaum sekuler di Israel yang merasa didesak terus oleh kaum religious, bukan secara fisik melainkan melalui kekuatan symbol-simbol (Wald & Shye dalam Sarwono, 2001).
2. Setiap orang ingin tampil baik. Misalnya, dalam pesta perkawinan, busana pengantin harus beda dan lebih bagus dari tamu-tamu lainnya. Ibu-ibu yang dating ke pesta perkawinan itu tidak ingin busanya ada yang menyamai (kalau ada yang menyamai, ibu itu mengajak suaminya cepat-cepat pulang) dan kalau ada undangan perkawinan dua hari berturut-turut, ibu-ibu tidak mau memakai busana yang samadua kali berturut-turut (kalau dia tidak mempunyai baju lagi, lebih baik ia tidak datang di undangan yang kedua).
Berikut ini dijelaskan bagaimana mekanisme kerja norma melalui pendekatan psikodinamika. Psikodinamika adalah proses yang terjadi dalam diri individu sebagai bagian dari proses interaksi dengan lingkungannya. Pendekatan psikodinamika ini berbeda dengan pendekatan lingkungan (seperti pada eksperimen-eksperimen Sherif, Asch dan Milgram) karena pendekatan lingkungan lebih menekankan pada apa yang terjadi di lingkungan dan pengaruhnya terhadap perilaku individu.
Misalnya, Id menyimpan naluri seks (libido) dan agresi. Pada individu yang mampu menyesuaikan diri, naluri seks disalurkan melalui pernikahan dan hubungan seks dengan suami/istri dan mempunyai anak-anak dan naluri kemarahan disalurkan dengan memarahi anak-anaknya atau pegawai-pegawainya di kantor dengan cara-cara yang benar. Akan tetapi, kalau orang tersebut tidak mampu menyesuaikan diri, naluri seksnya disalurkan melalui perkosaan dan naluri agresinya disalurkan dengan cara merampok atau timbul gejala-gejala psikoneurosis pada diri individu itu. Cara mengatasi maladjusted menurut Freud adalah melalui psikoterapi yang dapat juga melibatkan lingkungan terdekat dari individu yang bersangkutan (orang tua, teman dekat dan sebagainya).
Yang menjadi persoalan adalah banyak individu yang terhenti perkembangan kognitifnya pada tingkat moral baik-buruk saja. Mereka inilah sumber prasangka, sikap negative, rasialisme dan konflik antar kelompok.
image source: www(dot)management-mentors(dot)com |
Baca juga: Pengertian dan Faktor Persepsi Sosial
Sebagai ilmu pengetahuan psikologi sosial tidak memberi penilaian. Jadi, tidak membicarakan mana yang lebih baik atau yang kurang baik. Tugas psikologi sosial adalah untnuk menjelaskan berbagai hal objektif yang berkaitan dengan gejala sosial.
Bagaimana Terjadinya Norma?
Norma adalah kesepakatan bersama. Biasanya norma lebih banyak menyangkut baik-buruk atau indah-jelek daripada benar-salah. Kalaupun menyangkut benar-salah, kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran relative, bukan kebenaran objektif (kendaraan di Indonesia berjalan di kiri jalan adalah benar, tapi di Amerika dan Belanda dianggap salah). Hal tersebut merupakan kesepakatan, sifat norma adalah subjektif, tidak selalu terikat pada kondisi dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan kesepakatan itu sendiri.Karena sifatnya subjektif, diperlukan penyesuaian diri dari individu kepada norma setiap kelompok yang akan ditemuinya atau dimana ia sudah menjadi anggota. Untuk menyesuaikan diri dapat ditempuh melalui tiga cara berikut:
1. Konformitas
Perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja (Kiesler & Kiesler dalam Sarwono, 2001).
2. Menurut (compliance)
Konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju. Bila perilaku tampil karena ada perintah namanya ketaatan.
3. Penerimaan (acceptance)
Konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan sosial. Misalnya, berganti agama sesuai keyakinannya sendiri, belajar bahasa daerah atau negara dimana ia ditugaskan/tinggal, memenuhi ajakan, teman-teman untuk membolos.
Beberapa penelitian terkait norma kelompok:
1. Penelitian M. Sherif
Hasil yang diperoleh bahwa kelompok cenderung menyepakati sesuatu dan cenderung bertahan pada kesepakatan itu, walaupun kesepakatan itu palsu atau tidak benar sama sekali. Hasil penelitian Sherif dikukuhkan kembali oleh Jacobs & Campbell yang mereplikasi eksperimen Sherif.
2. Penelitian Solomon Asch
Penelitian ini menyimpulkan bahwa tekanan kelompok sangat besar pengaruhnya dalam menetapkan penilaian atau pembuatan keputusan individu dalam kelompok. Di sisi dapat terjadi perubahan dari konformitas menjadi penerimaan.
3. Eksperimen Milgram
Eksperimen Milgram mengenai ketaatan atau kepatuhan sangat terkenal dan dianggap sebagai salah satu eksperimen yang klasik dalam psikologi sosial. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa Orang dapat berlaku kejam karena pengaruh situasi. Orang kebanyakan berpendapat bahwa orang jahat pun dapat berbuat jahat dan orang baik berbuat baik. Nyatanya orang baik pun dapat berbuat jahat (kejam). Gejala ini tergolong kesalahan karena kejahatan dianggap seakan-akan adalah atribusi internal, padahal sesungguhnya gejala itu merupakan atribusi eksternal (Miller dkk dalam Sarwono, 2001). Kekejaman yang dilakukan seseorang tersebut menurut Darley (dalam Sarwono, 2001) dikarenakan pelaku tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas perilakunya sendiri. Tanggung jawab pada atasannya.
Hal-hal yang menyebabkan orang menaati perintah yang melewati batas adalah sebagai berikut:
- Jarak emosi yang jauh dengan korban
- Kedekatan dan sahnya kekuasaan yang memberi perintah
- Kewibawaan institusi
- Reintepretasi kognitif, perubahan struktur atau kategori kognisi sehingga ada pengalihan tanggung jawab, bukanya karena pengurangan peri kemanusiaan atau hilangnya kepribadian seseorang karena dilebur pada kewibawaan institusi atau otoritas yang lebih besar.
- Pelatihan
Konformitas
Tidak semua perilaku yang sesuai dengan norma kelompok terjadi karena ketaatan seperi dalam eksperimen Milgram. Sebagaian terjadi karena orang memang sekedar ingin berperilaku sama dengan orang lain. Perilaku sama dengan orang lain yang didorong oleh keinginan sendiri ini dinamakan konformitas.Bilamana Orang Conform?
1. Besarnya kelompokSemakin besar kelompoknya, semakin besar pula pengaruhnya, tetapi ada titik optimal (lebih dari lima orang pengaruhnya sama saja). Samping itu penelitian lain membuktikan bahwa kelompok yang kecil lebih memungkinkan konformitas daripada kelompok besar (Galam & Moscovici dalam Sarwono, 2001)
2. Suara bulat
Dalam hal harus dicapai suatu bulat, satu orang atau minoritas yang suaranya paling berbeda tidak dapat bertahan lama. Ia atau mereka merasa tidak enak. Ia atau mereka merasa tidak enak dan tertekan hingga akhirnya ia atau mereka menyerah kepada pendapat kelompok mayoritas.
3. Keterpaduan
Keterpaduan atau kohesi (cohesiveness) adalah perasaan kekitaan antaranggota kelompok. Semakin kuat rasa keterpaduan atau kekitaan tersebut, semakin besar pengaruhnya pada perilaku individu. Ajaran konfusius di Cina mengajarkan kepatuhan kepada anak melalui pengasuhan anak yang membentuk moralitas otoritariarisme sehingga rasa kekitaan kepada anak terhadap orang tuanya tetap besar, walaupun orang tua otoriter (Ho dalam Sarwono, 2001).
4. Status
Drisken & Mullen (dalam Sarwono, 2001) meneliti pada pejalan kaki. Ternyata 25% dari pejalan kaki menyebrang jalan tidak pada tempatnya. Akan tetapi, kalau ada contoh yang menyebrang sesuai dengan peraturan, jumlah pelanggar menurun sampai 17%. Sementara kalau contoh itu menyebrang tidak pada tempatnya, jumlah pelanggar naik menjadi 44%. Yang paling berpengaruh adalah jika contoh yang tidak melanggar peraturan itu berpakaian rapi. Sebaliknya, jika pakaian contoh itu sembarangan atau jika contoh yang berpakaian rapi itu melanggar, pengaruhnya tidak besar. Milgram (dalam Sarwono, 2001) juga menuliskan eksperimennya, semakin rendah status yang menjadi “contoh” semakin patuh, sedangkan semakin tinggi statusnya semakin cepat berhenti bahkan mengajukan protes. Penelitian di Amerika Serikat, Rusia dan Jepang menunjukkan bahwa atasan diharapkan lebih otonom, lebih mandiri. Atasan tidak diharapkan untuk conform atau patuh karena perilaku conform atau kepatuhan kepada seorang atasan justru tidak sesuai dengan norma (Hamilton & Sanders dalam Sarwono, 2001).
5. Tanggapan umum
Perilaku yang terbuka, yang dapat didengar atau dilihat umum lebih mendorong konformitas daripada perilaku, yang hanya dapat didengar atau diketahui oleh orang tertentu saja (Myers dalam Sarwono, 2001).
6. Komitmen umum
Deutch & Gerald (dalam Sarwono, 2001) mengungkapkan bahwa orang yang tidak mempunyai komitmen apa-apa kepada masyarakat atau orang lain, lebih mudah conform daripada yang sudah pernah mengucapkan suatu pendapat. Sekali sudah bicara, sulit untuk mengubahnya lagi karena orang pada umumnya tidak suka tampil tidak konsisten, takut dianggap tidak percaya (Allgeier dalam Sarwono, 2001).
Mengapa Konform
Menurut Deutsch & Gerrard (dalam Sarwono, 2001) ada dua penyebab mengapa orang berperilaku conform:- Pengaruh norma, yaitu disebabkan oleh keinginan untuk memenuhi harapa orang lain sehingga dapat lebih diterima oleh orang lain. Contohnya adalah pejabat yang ingin naik pangkat atau mencari status yang menyetujui saja segela sesuatu yang dikatakan atasannya (Hollander dalam Sarwono, 2001)
- Pengaruh informasi, yaitu karena adanya bukti-bukti dan informasi-informasi mengenai realitas yang diberikan oleh orang lain yang dapat diterimanya atau tidak dapat dielakkan lagi (Kotia dalam Sarwono, 2001). Misalnya, seorang pengemudi mendengar dari radio mobdil bahwa jalan yang kebetulan akan dilewatinya sedang macet total karena ada kemacetan. Walaupun pengemudi itu belum tahu sendiri mengenai keadaan jalan itu, karena ia percaya pada kata-kata penyiar radio, ia pun membelokkan mobilnya untuk mengikuti jalan alternative yang dianjutkan oleh penyiar radio itu.
Siapa yang Conform?
Penelitian membuktikan bahwa tidak semua orang mempunyai tingkat konformitas yang sama. Sebagian orang lebih mudah conform daripada orang lain:1. Di Amerika Serikat, wanita lebih mudah conform daripada pria. Kemungkinan karena di negara berkembang seperti Indonesia kecenderungan ini lebih nyata. Ada dua kemungkinan penyebabnya, yaitu (1) kepribadian wanita lebih flexible (luwes, lentur) dan (2) status wanita lebih terbatas sehingga mereka tidak mempunyai banyak pilihan, kecuali menyesuaikan diri pada situasi.
2. Sebagian peneliti berpendapat bahwa tipe kepribadian ada pengaruhnya pada perilaku conform (Snyder & Ickes dalam Sarwono, 2001), tetapi sebagian yang lain tidak percaya bahwa pendapat itu, sedangkan yang sebagian lagi berpendapat bahwa walaupun tipe kepribadian tidak dapat untuk meramalkan timbulnya satu perilaku tertentu pada saat dan tempat tertentu, namum dalam rangkaian peristiwa dalam waktu yang panjang tipe kepribadian menentukan bagaimana pola reaksi atau perilaku seseorang dalam menghadapi jenis-jenis situasi. Contoh, situasi yang tidak jelas, tidak berstruktur (misalnya, dalam ruang tunggu dokter hanya ada dua orang tamu). Oleh karena itu, orang dengan kepribadian yang lebih dominan akan lebih mempengaruhi hubungan atau komunikasi antarkedua tamu tersebut (Iches dalam Sarwono, 2001).
3. Konformitas dan kepatuhan adalah gejala yang universal, tetapi bervariasi antarbudaya (Bond dalam Sarwono, 2001). Milgram mereplikasi eksperimennya dengan subjek orang-orang Norwegia dan Prancis. Ternyata orang Norwegia lebih conform dan patuh daripada orang Prancis.
Di Indonesia mungkin ibu-ibu bimbang dalam mendidik anak mereka untuk menjadi mandiri atau menurut. Menurut Kamii (dalam Sarwono, 2001) yang penting adalah bahwa tujuan mendidik anak bukan sekedar memberi hak untuk memutuskan, melainkan memberi keterampilan untuk membuat keputusan dari heteronomi (tergantung banyak pertimbangan orang lain) ke otonomi.
Menolak Tekanan Sosial
Ada dua factor yang menyebabkan individu tidak mau conform atau patuh atau menolak tekanan sosial:1. Jika ia merasa kebebasan atau hak-hak pribadinya terancam. Dalam keadaan ini, ia akan melakukan perlawanan (reactance). Contohnya adalah kisah Siti Nurbaya yang memberontak pada seluruh keluarga dan masyarakatnya ketika ia diharuskan menikah dengan lintah darat Datuk Maringgi, sementara ia sudah mempunyai kekasih, Syamsulbahri. Dalam keadaan reactance ini, semakin besar tekanan sosial, semakin kuat perlawannya. Siti Nurbaya semakin melawan ketika ibunya semakin memaksanya untuk menikah dengan Datuk Maringgi. Nasihat-nasihat dan perintah-perintah ibunya tidak mempan pada diri Siti Nurbaya bahkan memberi efek balik pada ibu itu sendiri sehingga sang ibu semakin frustasi dan marah. Dampak negative pada sang ibu itu dinaman efek boomerang (Brehm & Brehm dalam Sarwono, 2002). Dalam kehidupan sehari-hari gejala ini sering kita dapati pada remaja yang semakin lama semakin nakal karena ibunya semakin cerewet menasehatinya. Dalam kelompok, efek boomerang ini tampak juga pada kaum sekuler di Israel yang merasa didesak terus oleh kaum religious, bukan secara fisik melainkan melalui kekuatan symbol-simbol (Wald & Shye dalam Sarwono, 2001).
2. Setiap orang ingin tampil baik. Misalnya, dalam pesta perkawinan, busana pengantin harus beda dan lebih bagus dari tamu-tamu lainnya. Ibu-ibu yang dating ke pesta perkawinan itu tidak ingin busanya ada yang menyamai (kalau ada yang menyamai, ibu itu mengajak suaminya cepat-cepat pulang) dan kalau ada undangan perkawinan dua hari berturut-turut, ibu-ibu tidak mau memakai busana yang samadua kali berturut-turut (kalau dia tidak mempunyai baju lagi, lebih baik ia tidak datang di undangan yang kedua).
Psikodinamika Norma
Norma berfungsi untuk mengarahkan perilaku. Akan tetapi mengapa masih juga ada yang melanggar norma? Dalam hal ini kenapa masih terjadi penyimpangan perilaku seksual, korupsi, kolusi, perampokan, terosisme dan pemerkosaan padahal sudah banyak norma yang mengatur perilaku-perilaku tersebut.Berikut ini dijelaskan bagaimana mekanisme kerja norma melalui pendekatan psikodinamika. Psikodinamika adalah proses yang terjadi dalam diri individu sebagai bagian dari proses interaksi dengan lingkungannya. Pendekatan psikodinamika ini berbeda dengan pendekatan lingkungan (seperti pada eksperimen-eksperimen Sherif, Asch dan Milgram) karena pendekatan lingkungan lebih menekankan pada apa yang terjadi di lingkungan dan pengaruhnya terhadap perilaku individu.
Norma dalam Pandangan Psikoanalisis
Sigmund Freud
Freud tokoh psikoanalisis klasik berpendapat bahwa melalui pendidikan dari orang tua selam masa balita, norma diinternalisasikan sebagai nilai-nilai dalam superego. Fungsi super-ego adalah untuk mengendalikan dorongan-dorongan id, sedemikian rupa sehingga ia tidak muncul sebagai perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Fungsi Ego adalah mempertimbangkan pilihan atau kombinasi pilihan yang terbaik antara tuntutan dari id, pembatasan dari superego dan kenyataan di lingkungan. Berdasarkan keputusan itu, ego mengarahkan perilakunya. Kalau perilaku itu sesuai atau selaras dengan kondisi lingkungan (masyarakat) untuk jangka waktu yang panjang, orang yang bersangkutan tergolong mampu menyesuaikan diri (well adjusted) dan mempunyai kesehatan mental yang baik. Jika tidak, ia tergolong tidak mampu menyesuaikan diri (mal adjusted) dan dapat mengalami gangguan mental, terlibat criminal atau berkepribadian psikopat.Misalnya, Id menyimpan naluri seks (libido) dan agresi. Pada individu yang mampu menyesuaikan diri, naluri seks disalurkan melalui pernikahan dan hubungan seks dengan suami/istri dan mempunyai anak-anak dan naluri kemarahan disalurkan dengan memarahi anak-anaknya atau pegawai-pegawainya di kantor dengan cara-cara yang benar. Akan tetapi, kalau orang tersebut tidak mampu menyesuaikan diri, naluri seksnya disalurkan melalui perkosaan dan naluri agresinya disalurkan dengan cara merampok atau timbul gejala-gejala psikoneurosis pada diri individu itu. Cara mengatasi maladjusted menurut Freud adalah melalui psikoterapi yang dapat juga melibatkan lingkungan terdekat dari individu yang bersangkutan (orang tua, teman dekat dan sebagainya).
Kohlberg
Menurut Kohlberg norma menentukan mana yang baik (boleh) dan yang buruk (dilarang). Penentuan baik-buruk ini tergantung pada perkembangan kongitif seseorang (1) anak kecil yang perkembangan kognitifnya masih pada taraf awal belum dapat menentukan sendiri mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, dia masih mengikuti orang lain saja (tahap taat dan takut pada hukuman) (2) Lama-kelamaan ia dapat membedakan sendri mana yang baik dan mana yang tidak. Akan tetapi, ia masih membedakannya dalam golongan “hitam-putih” : pencuri selamanya jahat, peri yang cantik selamnya baik (tahap anakbaik/good boy). (3) pada tahap terakhir (tahap orientasi moral), individu sudah dapat memahami bahwa baik-buruk tidak seperti hita-putih; ada pencuri yang baik hati (Robin Hood) dan ada putri cantik yang jahat (misalnya bawang merah). Ia pun mampu memahami bahwa suatu perilaku yang biasanya digolongkan sebagai tidak baik pada suatu saat dan tempat lain dapat dianggap tidak melanggar norma. Caplan (dalam Sarwono, 2001) menyatakan bahwa jika orang sudah mencapai tahap orientasi moral, seks pranikah akan dipahaminya sehubungan dengan berbagai factor lain (bukan hanya dengan satu tolak ukur saja).Yang menjadi persoalan adalah banyak individu yang terhenti perkembangan kognitifnya pada tingkat moral baik-buruk saja. Mereka inilah sumber prasangka, sikap negative, rasialisme dan konflik antar kelompok.
Teori Kognitif
Spika, Beit & Malony dalam Sarwono (2001) mengemukakan norma sebagai skema dalam struktur kognisi seseorang, yaitu berhubungan dengan harga diri orang tersebut (tinggi-rendah posisi self dalam skema) dan keperdulian sosialnya terhadap orang lain (jauh dekatnya orang lain dalam skema).
Tiap kategori dalam skema diwakili oleh symbol-simbol (lambang, lagu, busana, bahasa, istilah dan sebagainya). Kalau orang ingin dimasukkan dalam kategori tertentu, ia harus berupaya untuk berperilaku sesuai dengan symbol-simbol yang sesuai dengan kategori itu (kalau ingin dianggap remaja harus berbusana dengan warna ceria, kalau mau akrab dengan ibu-ibu arisan harus mau bergosip, di lingkungan bisnis harus main golf dan sebagainya). Kalau tidak, orang itu menganggap dirinya atau dianggap di luar kelompok (outgroup), kurang baik, berstatus rendah dan sebagainya.
Remaja sering terlibat perilaku yang melanggar norma masyarakat (kenakalan, kekerasan, penyalahgunaan obat, perilaku seks, busana yang aneh-aneh dan sebagainya) karena justru perilaku yang melanggar itu sesuai norma kelompok mereka (Riester dalam Sarwono, 2001). Dalam skema kognitif mereka, mereka harus melakukan hal-hal tersebut agar masuk dalam kategori kelompok mereka. Hal ini analog dengan anggapan bahwa orang Islam harus dapat mengaji (Novacek, Raskin & Hogan dalam Sarwono, 2001).
Pengaruh agama dalam skema kognitif ditemukan juga dalam sikap terhadap seks pranikah dan kaum homoseks di AS. Jika agama identifikasinya dirinya dengan kelompok itu, individu itu akan mengambil sikap negative terhadap hubungan seks pranikah dan homoseksualitas karena itulah yang diharapkan dari agama. Demikian pula komitmen terhadap agama dapat mengurangi penggunaan alkohol, walaupun untuk itu individu harus mengingkari status sosialnya (di AS alkohol merupakan salah satu symbol status sosial). Jadi, agama dapat lebih kuat pengaruhnya daripada kelas sosial jika agama lebih menjadi symbol identitas diri dalam skema kognitif individu daripada status sosial ekonominya (Clarke, Beeghly & Cochran dalam Sarwono, 2001).
Di pihak lain, ciri-ciri orang dengan reaksi rasa bersalah jika melanggar norma adalah menyalahkan diri sendiri, marah pada diri sendiri dan benci pada diri sendiri (Tangney dalam Sarwono, 2001). Selain itu, cepat bereaksi dan melapor kepada pihak yang bertanggung jawab jika terjadi sesuatu (Barret, Zahn & Cole dalam Sarwono, 2001). Ia pun lebih berempati kepada orang lain dan kurang mementingkan diri sendiri (Tangley dalam Sarwono, 2001).
Perwujudan dari reaksi malu dan bersalah dalam kelompok adalah budaya malu dan budaya salah. Budaya malu lebih banyak terdapat pada masyarakat dengan kebudayaan kolektif, sedangkan budaya salah lebih banyak terdapat pada masyarkat dengan kebudayaan individual.
Masyarakat dengan budaya kolektif menekankan tanggung jawab pada kelompok, bukan pada perorangan. Oleh karena itu, kalau terjadi masalah, kelompoklah (orang lain) yang bersalah, bukan saya. Jadi, kecenderungan adalah menyalahkan pihak luar. Demikian pula kalau mengambil keuntungan untuk diri sendiri, ia tidak merasa bersalah, apalagi jika semua orang melakukannya. Dengan demikian, individu dari masyarakat kolektif dengan budaya malu, tenang saja menyerobot antrean, menyontek atau kolusi karena perbuatan itu (walaupun salah) tidak memalukannya. Sebaliknya, untuk duduk di baris terdepan dalam upacara, tidak ada yang mau (walaupun perbuatan itu tidak salah) karena malu duduk di depan (nanti disangka pejabat). Demikian pula orang malu kalau ada tamu, dan rumah sedang berantakan, akibatnya anak-anak dimarahinya.
Sebaliknya masyarkaat dengan budaya individual menekankan pada tanggung jawab perorangan. Kalau ada masalah, kesalahan terletak pada individu itu sendiri. Dengan demikian individu dalam masyarakat individual lebih intrapunitif dan tetap merasa bersalah walaupun tidak ada yang melibat dan walaupun orang lain melakukan kesalahan yang sama. Individu lebih dapat berempati pada orang lain karena ia mampu merasakan bagaimana kalau dirinya sendiri yang melakuan kesalahan. Contoh dari perilaku dalam budaya individual adalah tetap antre walaupun orang lain menyerobot (merasa bersalah kalau ikut menyerobot) berani duduk di depan walaupun orang-orang lain duduk di belakang (karena merasa tidak ada salahnya duduk dibaris terdepan), kalau ada tamu padahal rumah berantakan, ia meminta maaf kepada tamu bukan memarahi anaknya.
Perubahan norma-norma itu, yang semula berawal dari perubahan individu, pada gilirannya juga berpengaruh kembali pada perubahan individu itu sendiri. Jadi perubahan sosial pada hakikatnya adalah kombinasi antara perubahan individu dan perubahan norma. Pendapat dan temuan para pakar mengenai hubungan antara perubahan individu dan perubahan sosial antara lain sebagai berikut:
1. Smelser & Smelser (dalam Sarwono, 2001), perubahan sosial terjadi di berbagai tingkat mulai dari tingkat pribadi, keluarga, lingkungan kecil sampai bangsa dan dunia. Tiap tahap ditandai oleh interaksi antara perubahan pribadi dan perubahan lingkungan. Harus dipelajari keduanya dan interaksi antarkeduanya untuk dapat memperkenalkan perubahan sosial.
2. Ibu-ibu Muslim di Inggris, walaupun mereka sendiri tidak sempat mengecap pendidikan tinggi, mengusahakan agar anak-anak perempuan mereka mendapat pendidikan yang lebih tinggi dari diri mereka sendiri (Osler & Hussain dalam Sarwono, 2001)
3. Di Ghana, Islam merupakan jembatan dari pengobatan tradisional ke pengobatan modern karena masyarakat mengidentifikasikan diri pada Islam dan Islam memperkenalkan pengobatan modern (Kirby dalam Sarwono, 2001)
4. Keluarga-keluarga Muslim di Malaysia berada dalam konflik antara nilai-nilai Islam, Cina, India, dan Eropa di lingkungan mereka sendiri (Kling dalam Sarwono, 2001)
5. Dalam keadaan ragu atau kehilangan pedoman atau identitas diri diperlukan discounting, yiatu pengabaian ciri-ciri kelompok walaupun masih mempertahankan identias kelompoknya melalui hal-hal berikut:
Tiap kategori dalam skema diwakili oleh symbol-simbol (lambang, lagu, busana, bahasa, istilah dan sebagainya). Kalau orang ingin dimasukkan dalam kategori tertentu, ia harus berupaya untuk berperilaku sesuai dengan symbol-simbol yang sesuai dengan kategori itu (kalau ingin dianggap remaja harus berbusana dengan warna ceria, kalau mau akrab dengan ibu-ibu arisan harus mau bergosip, di lingkungan bisnis harus main golf dan sebagainya). Kalau tidak, orang itu menganggap dirinya atau dianggap di luar kelompok (outgroup), kurang baik, berstatus rendah dan sebagainya.
Remaja sering terlibat perilaku yang melanggar norma masyarakat (kenakalan, kekerasan, penyalahgunaan obat, perilaku seks, busana yang aneh-aneh dan sebagainya) karena justru perilaku yang melanggar itu sesuai norma kelompok mereka (Riester dalam Sarwono, 2001). Dalam skema kognitif mereka, mereka harus melakukan hal-hal tersebut agar masuk dalam kategori kelompok mereka. Hal ini analog dengan anggapan bahwa orang Islam harus dapat mengaji (Novacek, Raskin & Hogan dalam Sarwono, 2001).
Pengaruh agama dalam skema kognitif ditemukan juga dalam sikap terhadap seks pranikah dan kaum homoseks di AS. Jika agama identifikasinya dirinya dengan kelompok itu, individu itu akan mengambil sikap negative terhadap hubungan seks pranikah dan homoseksualitas karena itulah yang diharapkan dari agama. Demikian pula komitmen terhadap agama dapat mengurangi penggunaan alkohol, walaupun untuk itu individu harus mengingkari status sosialnya (di AS alkohol merupakan salah satu symbol status sosial). Jadi, agama dapat lebih kuat pengaruhnya daripada kelas sosial jika agama lebih menjadi symbol identitas diri dalam skema kognitif individu daripada status sosial ekonominya (Clarke, Beeghly & Cochran dalam Sarwono, 2001).
Rasa Malu dan Salah
Ada dua macam reaksi terhadap pelanggaran norma, yaitu (1) rasa malu dan (2) rasa bersalah. Ciri-ciri dari orang yang malu kalau melanggar norma adalah lebih cepat marah, cepat tersinggung, curiga, cenderung menyalahkan orang lain dalam kejadian yang tidak dikehendaki, menyatakan rasa benci atau tidak suka secara tidak langsung (bukan secara langsung dan tatap muka) terhadap orang lain (Tangney dalam Sarwono, 2001). Selain itu, orang dengan reaksi malu juga bercirikan lebih memperhatikan diri sendiri daripada orang lain, tidak berdaya, dan rendah diri (Gilbert, Pehl & Allan dalam Sarwono, 2001). Ia juga menghindari otoritas atau atasan. Kalau terjadi sesuatu tidak cepat melapor ke atasan. Mereka adalah penghindar. Ciri lain lagi adalah kurang berempati terhadap orang lain, tetapi sangat berorientasi pada diri sendiri.Di pihak lain, ciri-ciri orang dengan reaksi rasa bersalah jika melanggar norma adalah menyalahkan diri sendiri, marah pada diri sendiri dan benci pada diri sendiri (Tangney dalam Sarwono, 2001). Selain itu, cepat bereaksi dan melapor kepada pihak yang bertanggung jawab jika terjadi sesuatu (Barret, Zahn & Cole dalam Sarwono, 2001). Ia pun lebih berempati kepada orang lain dan kurang mementingkan diri sendiri (Tangley dalam Sarwono, 2001).
Perwujudan dari reaksi malu dan bersalah dalam kelompok adalah budaya malu dan budaya salah. Budaya malu lebih banyak terdapat pada masyarakat dengan kebudayaan kolektif, sedangkan budaya salah lebih banyak terdapat pada masyarkat dengan kebudayaan individual.
Masyarakat dengan budaya kolektif menekankan tanggung jawab pada kelompok, bukan pada perorangan. Oleh karena itu, kalau terjadi masalah, kelompoklah (orang lain) yang bersalah, bukan saya. Jadi, kecenderungan adalah menyalahkan pihak luar. Demikian pula kalau mengambil keuntungan untuk diri sendiri, ia tidak merasa bersalah, apalagi jika semua orang melakukannya. Dengan demikian, individu dari masyarakat kolektif dengan budaya malu, tenang saja menyerobot antrean, menyontek atau kolusi karena perbuatan itu (walaupun salah) tidak memalukannya. Sebaliknya, untuk duduk di baris terdepan dalam upacara, tidak ada yang mau (walaupun perbuatan itu tidak salah) karena malu duduk di depan (nanti disangka pejabat). Demikian pula orang malu kalau ada tamu, dan rumah sedang berantakan, akibatnya anak-anak dimarahinya.
Sebaliknya masyarkaat dengan budaya individual menekankan pada tanggung jawab perorangan. Kalau ada masalah, kesalahan terletak pada individu itu sendiri. Dengan demikian individu dalam masyarakat individual lebih intrapunitif dan tetap merasa bersalah walaupun tidak ada yang melibat dan walaupun orang lain melakukan kesalahan yang sama. Individu lebih dapat berempati pada orang lain karena ia mampu merasakan bagaimana kalau dirinya sendiri yang melakuan kesalahan. Contoh dari perilaku dalam budaya individual adalah tetap antre walaupun orang lain menyerobot (merasa bersalah kalau ikut menyerobot) berani duduk di depan walaupun orang-orang lain duduk di belakang (karena merasa tidak ada salahnya duduk dibaris terdepan), kalau ada tamu padahal rumah berantakan, ia meminta maaf kepada tamu bukan memarahi anaknya.
Perubahan Sosial
Norma diperlukan untuk dijadikan pedoman perilaku. Akan tetapi, orang tidak dapat terus menerus berpedoman pada suatu norma saja. Pertama, individu itu dinamis (cenderung berkembang dan berubah), antara lain karena bertambahnya usia, semakin tinggi pendidikannya, bertambah pengalaman, dan adanya peristiwa-peristiwa traumatic atau yang memuaskan. Kedua, lingkungan pun berubah (dengan ditemukannya ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin canggihnya sarana komunikasi dan lain-lainnya). Misalya, dulu belum ada keluarga berencana, telepon genggam dan faximili, pesawat terbang dan wanita yang bersekolah yang sekarang semuanya sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.Perubahan norma-norma itu, yang semula berawal dari perubahan individu, pada gilirannya juga berpengaruh kembali pada perubahan individu itu sendiri. Jadi perubahan sosial pada hakikatnya adalah kombinasi antara perubahan individu dan perubahan norma. Pendapat dan temuan para pakar mengenai hubungan antara perubahan individu dan perubahan sosial antara lain sebagai berikut:
1. Smelser & Smelser (dalam Sarwono, 2001), perubahan sosial terjadi di berbagai tingkat mulai dari tingkat pribadi, keluarga, lingkungan kecil sampai bangsa dan dunia. Tiap tahap ditandai oleh interaksi antara perubahan pribadi dan perubahan lingkungan. Harus dipelajari keduanya dan interaksi antarkeduanya untuk dapat memperkenalkan perubahan sosial.
2. Ibu-ibu Muslim di Inggris, walaupun mereka sendiri tidak sempat mengecap pendidikan tinggi, mengusahakan agar anak-anak perempuan mereka mendapat pendidikan yang lebih tinggi dari diri mereka sendiri (Osler & Hussain dalam Sarwono, 2001)
3. Di Ghana, Islam merupakan jembatan dari pengobatan tradisional ke pengobatan modern karena masyarakat mengidentifikasikan diri pada Islam dan Islam memperkenalkan pengobatan modern (Kirby dalam Sarwono, 2001)
4. Keluarga-keluarga Muslim di Malaysia berada dalam konflik antara nilai-nilai Islam, Cina, India, dan Eropa di lingkungan mereka sendiri (Kling dalam Sarwono, 2001)
5. Dalam keadaan ragu atau kehilangan pedoman atau identitas diri diperlukan discounting, yiatu pengabaian ciri-ciri kelompok walaupun masih mempertahankan identias kelompoknya melalui hal-hal berikut:
Paksaan: misalnya harus tetap Islam walaupun ikut KB
Pengecualian: dalam keadaan darurat boleh melakukan sesuatu yang lazimnya dilarang, misalnya boleh ber-KB karena keadaan darurat walaupun Islam tetap melarangnya
Pengingkaran (denial): mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur an dan hadis untuk membuktikan bahwa Islam pro-KB, tidak anti-KB
Penyembunyian (concealment): menyembunyikan hal-hal yang mendukung bahwa Islam anti-KB
6. Dalam proses perubahan ini diperlukan pemimpin yang kuat untuk mempertahankan integrasi kelompok selama masa peralihan (Pastello dalam Sarwono, 2001). Di pihak lain, pemimpin yang kuat tidak berarti pemimpin yang terlalu ketat, kaku, dan otoriter. Kendali yang terlalu kuat dari pemimpin dalam menghadapi perubahan sosial dapat menyebabkan anggota kelompok berontak seperti yang terjadi pada anak-anak remaja yang memberontak pada orang tuanya yang terlalu keras (Franklin & Streeter dalam Sarwono, 2001).
7. Prinsip untuk menjaga keutuhan dan stabilitas kelompok untuk jangka panjang dalam menghadapi perubahan sosial dan perubahan norma-norma yang terlalu cepat adalah harus selalu terbuka untuk negosiasi dengan anggota-anggota kelompok. Pendekatan yang terlalu menekankan pada negosiasi dan tradisional (upacara, ritual, kebiasaan, kenang-kenangan dan lain-lain) harus diimbangi dengan pemberian kesempatan-kesempatan pada setiap individu untuk memilih alternativenya sendiri (Settes dalam Sarwono, 2001).
Sekian artikel Universitas Psikologi tentang Norma dalam Pandangan Psikologi dan Perubahan Sosial. Semoga bermanfaat.
Pengecualian: dalam keadaan darurat boleh melakukan sesuatu yang lazimnya dilarang, misalnya boleh ber-KB karena keadaan darurat walaupun Islam tetap melarangnya
Pengingkaran (denial): mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur an dan hadis untuk membuktikan bahwa Islam pro-KB, tidak anti-KB
Penyembunyian (concealment): menyembunyikan hal-hal yang mendukung bahwa Islam anti-KB
6. Dalam proses perubahan ini diperlukan pemimpin yang kuat untuk mempertahankan integrasi kelompok selama masa peralihan (Pastello dalam Sarwono, 2001). Di pihak lain, pemimpin yang kuat tidak berarti pemimpin yang terlalu ketat, kaku, dan otoriter. Kendali yang terlalu kuat dari pemimpin dalam menghadapi perubahan sosial dapat menyebabkan anggota kelompok berontak seperti yang terjadi pada anak-anak remaja yang memberontak pada orang tuanya yang terlalu keras (Franklin & Streeter dalam Sarwono, 2001).
7. Prinsip untuk menjaga keutuhan dan stabilitas kelompok untuk jangka panjang dalam menghadapi perubahan sosial dan perubahan norma-norma yang terlalu cepat adalah harus selalu terbuka untuk negosiasi dengan anggota-anggota kelompok. Pendekatan yang terlalu menekankan pada negosiasi dan tradisional (upacara, ritual, kebiasaan, kenang-kenangan dan lain-lain) harus diimbangi dengan pemberian kesempatan-kesempatan pada setiap individu untuk memilih alternativenya sendiri (Settes dalam Sarwono, 2001).
Sekian artikel Universitas Psikologi tentang Norma dalam Pandangan Psikologi dan Perubahan Sosial. Semoga bermanfaat.
Posting Komentar