Teori dan Faktor-faktor Penyebab Perilaku Agresif Menurut Para Ahli

Daftar Isi
Teori dan Faktor-faktor Penyebab Perilaku Agresif Menurut Para Ahli - Sebelumnya kita membahas seperti apa pengertian perilaku agresif, dan saat ini kita akan membahas teori apa saja yang mengulas tentang agresif. Selain itu, kita juga akan membahas faktor penyebab dari timbulnya perilaku agresif ini.
Teori dan Faktor-faktor Penyebab Perilaku Agresif Menurut Para Ahli
Teori tentang Perilaku Agresif
Baca juga: Pengertian dan Jenis Perilaku Agresif

Teori-Teori Tentang Agresi

a. Teori bawaan

1) Teori naluri

Freud dalam teori psikoanalisa klasiknya mengemukakan bahwa agresi adalah satu dari dua naluri dasar manusia. Naluri agresi atau tanatos merupakan pasangan dari naluri seksual atau eros. Jika naluri seks berfungsi untuk melanjutkan keturunan, naluri agresi berfungsi untuk mempertahankan jenis. Kedua naluri tersebut berada dalam alam ketidaksadaran, khususnya pada bagian dari kepribadian yang disebut Id yang pada prinsipnya selalu ingin agar kemauannya dituruti. Tetapi tidak semua keinginan id harus dipenuhi, kendalinya ada pada super ego yang mewakili norma-norma yang ada dalam masyarakat dan ego yang berhadapan dengan kenyataan. Karena dinamika seperti itulah sebagian besar naluri agresif manusia diredam (repressed) dalam alam ketidaksadaran dan tidak muncul sebagai perilaku yang nyata.

2) Teori biologi

Teori biologi mencoba menjelaskan perilaku agresif baik dari proses faal maupun teori genetika (ilmu keturuan). Moyer (1976) mengaju pada proses faal yang berpendapat bahwa perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang terjadi di otak dan susunan syaraf pusat. Hormon laki-laki (testoteron) dipercaya sebagai pembawa sifat agresif.

Teori biologi yang meninjau perilaku agresif dari ilmu genetika dikemukakan oleh Lagerspetz (1979). Teori genetika ini juga dibuktikan melalui identifikasi ciri-ciri agresif pada pasangan-pasangan kembar identik, kembar nonidentik dan saudara-saudara sekandung non kembar. Hasilnya adalah bahwa ciri-ciri yang sama paling banyak terdapat antara pasangan kembar identik (Ruhton, Russel & Wells, 1984).

b. Teori lingkungan

1) Teori frustrasi agresi klasik

Teori ini dikemukakan oleh Dollar dkk (1939) dan Miller (1941) yang berpendapat bahwa agresi dipicu oleh frustasi. Frustasi adalah hambatan terhadap pencapaian suatu tujuan. Agresi merupakan pelampiasan dari perasaan frustasi.

2) Teori frustasi agresi baru

Jika suatu hambatan terhadap pencapaian tujuan dapat dimengerti alasannya, yang terjadi adalah iritasi (gelisah, sebal), bukan frustasi (kecewa, putus asa). Berkowizt (1959), mengatakan bahwa frustasi menimbulkan kemarahan dan emosi marah inilah yang memicu agresi. Marah itu sendiri baru timbul jika sumber frustasi dinilai mempunyai alternatif perilaku lain daripada perilaku yang menimbulkan frustasi itu.

3) Teori belajar sosial

Teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Patterson, littman & Bricker (1967) menemukan bahwa pada anak-anak kecil, agresif yang membuahkan hasil yang berupa peningkatan frekuensi perilaku agresif itu sendiri.

Bandura (1979) juga mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari pun perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa.

Walaupun demikian, tidak berarti bahwa tidak ada penelitian yang memandang agresi sebagai sesuatu yang tidak negatif. McCloskey, Figuerendo & Koss (1995) adalah pakar-pakar yang menemukan bahwa tidak ada kaitan antara pengalaman agresi dan disfungsi keluarga pada masa kanak-kanak dengan perkembangan agresivitas dan kesehatan mental orang yang bersangkutan pada masa dewasanya. Jadi kalaupun terjadi agresi, menurut mereka hal tersebut bukan disebabkan oleh pengalaman masa lalu atau kondisi kesehatan mental mereka yang kurang baik. Agresi dianggap hanya merupakan reaksi sesaat saja.

c. Teori kognisi

Teori kognisi berintikan pada proses yang terjadi pada kesadaran dalam membuat penggolongan (kategorisasi), pemberian sifat-sifat (atribusi), penilaian, dan pembuatan keputusan. Dalam hubungan antara dua orang, kesalahan atau penyimpangan dalam pemberian atribusi juga dapat menyebabkan agresi (Johnson & Rule, 1986).

Faktor-faktor Penyebab Perilaku Agresif

Pribadi, dkk (2007) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresi pada diri seseorang diantaranya: kondisi kemiskinan, kepadatan yang berlebihan, tindakan pemegang otoritas seperti polisi dan nilai kelompok kultural seseorang.

Terdapat beberapa penyebab perilaku agresif menurut Muttadin (2002):

a. Amarah

Marah menurut Davidoff (1991) merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi.

Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresif adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi. Anak-anak sering saling mengejek pada saat bermain, begitu juga dengan remaja biasanya mereka mulai saling mengejek dengan ringan sebagai bahan tertawaan, kemudian yang diejek ikut membalas ejekan tersebut, lama kelamaan ejekan yang dilakukan semakin panjang dan terus-menerus dengan intensitas ketegangan yang semakin tinggi bahkan seringkali disertai kata-kata kotor dan cabul.

b. Faktor Biologis

Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresif (Davidoff, 1991):

1) Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.

2) Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.

3) Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.

c. Kesenjangan Generasi

Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. Permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.

d. Lingkungan

1) Kemiskinan

Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan (Byod McCandless dalam Davidoff, 1991). Bila terjadi perkelahian dipemukiman kumuh, misalnya ada pemabuk yang memukuli istrinya karena tidak memberi uang untuk beli minuman, maka pada saat itu anak-anak dengan mudah dapat melihat model agresi secara langsung. Model agresi ini seringkali diadopsi anak-anak sebagai model pertahanan diri dalam mempertahankan hidup. Dalam situasi-situasi yang dirasakan sangat kritis bagi pertahanan hidupnya dan ditambah dengan nalar yang belum berkembang optimal, anak-anak seringkali dengan gampang bertindak agresi misalnya dengan cara memukul, berteriak, dan mendorong orang lain sehingga terjatuh dan tersingkir dalam kompetisi sementara ia akan berhasil mencapai tujuannya.

2) Anonimitas

Di daerah kota-kota besar yang menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut.

Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri).

3) Suhu udara yang panas

Bila diperhatikan dengan seksama tawuran-tawuran yang terjadi, seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas.

e. Peran Belajar Model Kekerasan

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Davidoff (1991) mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi. Menurut Anderson dan Bushman (dalam Milla, 2003) terpaan media massa yang mengandung kekerasan oleh banyak ahli diyakini memiliki kontribusi dalam meningkatkan perilaku agresif

Selain model dari yang disaksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan keluarga yang terbiasa menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya , semua itu dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.

f. Frustrasi

Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.

Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.

g. Proses Pendisiplinan yang Keliru

Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, 1988). Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (contoh: dilarang untuk keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka).

Sekian artikel Universitas Psikologi tentang Teori dan Faktor-faktor Penyebab Perilaku Agresif Menurut Para Ahli. Semoga bermanfaat.
Universitas Psikologi
Universitas Psikologi Media belajar ilmu psikologi terlengkap yang berisi kumpulan artikel dan tips psikologi terbaru hanya di universitaspsikologi.com | Mari kita belajar psikologi dengan cara yang menyenangkan.

Posting Komentar