Teori Resiliensi (Resilience) Menurut Para Ahli
Daftar Isi
Resiliensi adalah proses dimana individu mampu bangkit dan menekan semua stressor atau perasaan yang negatif agar aktivitas kehidupan individu tersebut tidak terganggu. Untuk lebih jelasnya universitaspsikologi.com akan membagikan beberapa rangkuman teori resiliensi di bawah ini.
Teori Resiliensi |
Baca juga: Kenali Kekuatan Karakter yang Ada Pada Diri Anda
Definisi Resiliensi
Resiliensi adalah sebuah proses interaktif kompleks yang melibatkan berbagai karakteristik individu, keluarga, maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas, resiliensi juga dipandang sebagai fenomena yang bersifat “fluid” antarwaktu, Meichenbaum (dalam Hendriani, 2018). Individu mungkin resilien pada suatu tahap perkembangan, namun tidak pada tahap perkembangan yang lain. Terkait dengan hal tersebut, faktor protektif yang berperan penting didalamnya pun bervariasi antar tahap perkembangan.Resiliensi meliputi kualitas pribadi yang memungkinkan individu untuk bangkit ketika menghadapi kesulitan, Connor dan Davidson (dalam Roellyana dan Listiyandini, 2016). Kemampuan untuk mengatasi rasa sakit dan mentransformasikan diri, atau kapasitas untuk memelihara kondisi (diri) agar tetap berfungsi secara kompeten dalam menghadapi berbagai stresor dalam hidup, Greene, dkk (dalam Hendriani, 2018).
Schoon (dalam Mulyani, 2011) mengutip defenisi dari beberapa ahli dan menyimpulkan bahwa resiliensi merupakan proses dinamis dimana individu menunjukan fungsi adaptif dalam mengahadapi adversity yang berperan penting bagi dirinya. Sedangkan menurut Werner (dalam Hendriani, 2018) hasil perkembangan yang baik pada individu dengan status yang beresiko tinggi, kondisi yang sembuh dari trauma karena adanya kompetensi yang menetap atau berkelanjutan ketika dibawah kondisi stres.
Resiliensi menggambarkan kemampuan individu untuk merespon adversity atau trauma yang dihadapi dengan cara-cara sehat dan produktif. Secara umum, resiliensi ditandai oleh sejumlah karakteristik, yaitu adanya kemampuan dalam menghadapi kesulitan, ketangguhan dalam mengahadapi stres ataupun bangkit dari trauma yang dialami, Revich dan Shatte (dalam Hendriani, 2018).
Resiliensi bukan sebuah sifat yang menetap pada diri individu, merupakan hasil transaksi yang dinamis antara kekuatan dari luar dengan kekuatan dari dalam diri individu. Resiliensi dalam pengertian ini tidak dilihat sebagai atribut yang pasti atau semata-mata sebuah luaran, namun sebagai sebuah proses dinamis yang berkembang sepanjang waktu, Garmezy (dalam Hendriani, 2018).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan sebuah proses dinamis yang melibatkan peran berbagai faktor individual maupun sosial atau lingkungan, yang mencerminkan kekuatan dan ketangguhan seseorang untuk bangkit dari pengalaman emosional negatif saat menghadapi situasi sulit yang menekan atau mengandung hambatan yang signifikan.
Aspek-aspek Resiliensi
Grotberg (dalam Hendriani, 2018) menyebut karakteristik resiliensi dengan istilah sumber. Menurutnya, terdapat tiga sumber resiliensi individu (three sources of resilience), yaitu; i have, i am dan i can. Ketiganya saling berinteraksi dan menentukan bagaimana resiliensi individu kemudian.a. I Have
I have adalah sumber resiliensi yang berhubungan dengan besarnya dukungan sosial yang diperoleh dari sekitar, sebagaimana dipersepsikan atau dimaknai oleh individu. Mereka yang memiliki kepercayaan rendah terhadap lingkungannya cenderung memiliki sedikit jaringan sosial dan beranggapan bahwa lingkungan sosial hanya memberikan sedikit dukungan kepadanya. Sumber I heve memiliki beberapa kualitas yang yang dapat menjadi penentu bagi pembentukan resiliensi, yaitu:- Hubungan yang dilandasi kepercayaan (trust).
- Struktur dan peraturan yang ada dalam keluarga atau lingkungan rumah.
- Model-model peran.
- Dorongan seseorang untuk mandiri
- Akses terhadap fasilitas seperti layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan.
b. I Am
I am adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi dalam diri individu. Sumber ini mencangkup perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang memengaruhi i am dalam membentuk resiliensi adalah:- Penilaian personal bahwa diri memperoleh kasih sayang dan disukai oleh banyak orang.
- Memiliki empati, kepedulian dan cinta terhadap orang lain.
- Mampu merasa bangga dengan diri sendiri.
- Memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri dan dapat menerima konsekuensi terhadap segala tindakannya.
- Optimis, percaya diri dan memiliki harapan akan masa depan.
c. I Can
I can adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam memecahkan masalah menuju keberhasilan dengan kekuatan diri sendiri. I can berisi penilaian atas kemampuan diri yang mencangkup kemampuan menyelesaikan persoalan, keterampilan sosial dan interpersonal. Sumber resiliensi ini terdiri dari:- Kemampuan dalam berkomunikasi.
- Problem solving atau pemecahan masalah.
- Kemampuan mengolah perasaan, emosi dan impuls-impuls.
- Kemampuan mengukur temperament sendiri dan orang lain.
- Kemampuan menjalin hubungan dengan penuh kepercayaan.
Faktor-faktor Kemampuan Resiliensi
Tujuh keterampilan dibutuhkan untuk meningkatkan tujuh faktor dalam kemampuan resiliensi. Ketujuh faktor ini dapat diukur , dipelajari dan ditingkatkan Reivich dan Shatte (dalam Mulyani, 2011).a. Regulasi Emosi
Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang bila mengalami tekanan. Orang-orang yang reslien menggunakan seperangkat keterampilan yang sudah matang yang membantu mereka mengontrol emosi, perhatian dan perilakunya. Regulasi diri penting untuk membentuk hubungan akrab, kesuksesan ditempat kerja dan mempertahankan kesehatan fisik. Perlu diketahui bahwa tidak semua emosi perlu dikontrol. Ekspresi emosi, negatif atau positif,adalah sehat dan konstruktif; ekspresi emosi yang tepat merupakan bagian dari resiloiensi. Menjadi budak emosi akan mengganggu resiliensi dan membuat orang-orang menjauhi kita.b. Impulse Control
Orang yang mampu mengontrol dorongannya, menunda pemuasan kebutuhannya, akan lebih sukses secara sosial dan akademis. Orang yang kurang mampu mengontrol dorongan berarti memiliki “id” yang besar dan “superego” yang kurang.hasrat hedonistik menguasai pikiran rasional. Pola khas nya adalah merasa bergairah ketika mendapatkan pekerjaan baru, melibatkan sepenuhnya, namun tiba-tiba kehilangan minat dan meninggalkan pekerjaannya. Regulasi Emosi dan Impulse Control berhubungan erat. Kuatnya kemampuan seseorang dalam mengontrol dorongan menunjukkan kecenderungan seseorang untuk memiliki kemampuan tinggi dalam regulasi emosi. Orang yang mampu mengontrol dorongan dengan baik secara signifikan akan lebih sukses secara sosial maupun akademis.c. Optimisme
Orang yang memiliki resiliensi adalah orang yag optimis. Mereka yakin bahwa kondisi dapat berubah menjadi lebih baik. Mereka memiliki harapan ke masa depan dan yakin bahwa mereka dapat mengatur bagian-bagian dari kehidupan mereka. Orang yang optimis memiliki kesehatan yang baik. Memiliki kemungkinan yang kecil untuk mengalami depresi, berprestasi lebih baik disekolah, lebih produktif dalam pekerjaan, dan berprestasi di berbagai bidang. Optimis menyiratkan bahwa seseorang memiliki keyakinan akan kemampuannya mengatasi adversity, yang mungkin muncul dimasa depan. Halini merefleksikan senseof efficacy (rasa mampu), keyakinan akan kemampuan memecahkan masalah sendiri dan memimpin diri sendiri. Optimisme dan Self Efficacy sering berjalan beriringan. Namun demikian, optimisme yang tidak realistis justru akan membuat seseorang mengabaikan ancaman sesungguhnya yang pada dasarnya justru perlu dipersiapkan.d. Causal Analisys
Causal Analisys menunjukkan bahwa seseorang memiliki kemampuan intuk mengidentifikasi penyebab masalahnya secara akurat. Jika seseorang mampu mengidentifikasi masalah secara akurat, maka ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama terus-menerus. Menurut Seligman (dalam Mulyani, 2011) learned helplessness merupakan kondisi yang dihasilkan oleh persepsi bahwa manusia tidak dapat mengontrol lingkungannya sendiri. Manusia tidak dapat melakukan sesuatu untuk mencampuri situasi/kejadian yang ia alami.e. Empati
Empati menunjukkan bagaimana seseorang mampu membaca sinyal-sinyal dari orang lain mengenai kondisi psikologis dan emosional mereka, melalui isyarat nonverbal, untuk kemudian menentukan apa yag dipikirkan dan dirasakan orang lain.empati sangat berperan dalam hubungan sosial dimana seseorang ingin dimengerti dan dihargai. Seseorang yang rendah empatiya, walaupun memiliki tujuan yang baik, akn cenderung mengulangi poa perilaku yang tidak resilien. Mereka dikenal memaksakan emosi dan keinginan orang lain. Learning Your ABCs dan Detecting Iceberg dapat digunakan untuk memahami apa yang mengarahkan jalan seseorang melintasi dunia.f. Self Efficacy
Self efficacy menggambarkan perasaan seseorang tentanng seberapa efektifnya ia berfungsi di dunia ini. Hal ini menggambarkan keyakinan bahwa kita dapat memecahkan masalah, kita dapat menngalami dan memiliki keberuntungan dan kemampuan untuk sukses. Mereka yang tidak yakin tentang kemampuannya akan mudah tersesat. Untuk meningkatkan self efficacy dibutuhkan keterampilan “Avoiding Thinking Traps”, untuk mengarahkan asmsi tentang penyebab masalah, dan “Challengimg Beliefs”, untuk menjadi lebih akurat dalam pemecahan masalah.g. Reaching Out
Resiliensi bukan sekedar kemampuan mencapai aspek positif dalam hidup. Resiliensi merupakan sumber daya untuk mampu keluar dari kondisi sulit (reaching out) merupakan kemampuan seseorang untuk mampu keluar dari “zona aman” yang dimilikinya. Individu-individu yang memiliki kemampuan reaching out tidak menetapkan batas yang kaku terhadap kemampuan-kemampuan yangmereka miliki. Mereka tidak terperangkap dalam satu rutinitas, mereka memiliki rasa ingin tahu dan ingin mencoba hal-hal baru, dan mereka mampu menjalin hubungan dengan orang-orang baru dalam lingkungann kehidupan mereka. “Detecting Iceberg” dibutuhkan untuk membuka deep beliefs yang mungkin merangkul kita, sehingga kita mampu menghadapi tantangan baru. Menggunakan “Putting in Perspective” untuk mengekang rasa takut melakukan reaching out. “Real Time Resilience” akan dapat memerangi keyakinan yang tidak resilien, kapan saja mereka muncul.
Kesimpulan dari faktor-faktor resiliensi yang telah dijabarkan diatas adalah tujuh keterampilan yang seharusnya dimiliki oleh orang yang resiliensi agar resiliensi dapat berjalan dengan baik dan sehingga mampu menjadi orang yang resiliensi dalam menghadapi masalah yang terjadi.
Keterkaitan antara resiliensi dengan kesehatan juga dapat dijelaskan melalui peran emosi positiif didalamnya. Penelitian yang dilakukan oleh Tugade dan Ferdicson (dalam Hendriani, 2018) mengambil kesimpulan bahwa individu atau sekelompok orang yang resilien akan banyak melakukan regulasi emosi dengan menggunakan emosi positifnya untuk mengantikan emosi negatif yang sering kali muncul manakala mereka tengah menghadapi situasi sulit atau kondisi yang menekan.
Studi Tugade dan Fresicson (dalam Hendriani, 2018) juga mencatat bahwa individu yang resilien memiliki karakteristik yang secara psikologis lebih sehat, seperti sifat optimistik, dinamis, bersikap antusias terhadap berbagai hal yang ditemuinya dalam hidup, terbuka terhadap pengalaman baru, dan memiliki emosionalitas yang positif.
Lebih dari itu, individu yang memiliki resiliensi yang tinggi secara proaktif dan strategis akan menumbuhkan kondisi emosi yang positif, semisal melalui humor, tehnik relaksasi, berpikir optimis dan melakukan pengubahan persepsi terhadap segala sesuatu yang pada awalnya dipandang sulit, menekan atau tidak menyenangkan menjadi sesuatu yang wajar, menyenangkan atau menantang. Dengan demikian, kondisi psikologis yang kuat akan membantu individu resilien untuk terhindar dari stres dan depresi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep resiliensi memiliki keterkaitan dengan kesehatan individu. Resiliensi memungkinkan individu untuk mampu mempertahankan kesehatanya serta kembali kekondisi stabil, baik secara fisik, psikologis maupun sosial, setelah mengalami berbagai kejadian hidup yang menekan.
Sekian artikel Universitas Psikologi tentang Teori Resiliensi dan Pengertian Resiliensi (Resilience) Menurut Para Ahli. Semoga bermanfaat.
Keterkaitan Resiliensi dengan Kesehatan Individu
Menurut Ungar (dalam Hendriani, 2018) resiliensi adalah suatu istilah yang menggambarkan individu yang sehat ditengah kondisi yang secara kolektif dipandang sulit dan menekan. Reisiliensi merupakan hasil dari negosiasi atas berbagai sumber daya, antara individu dengan lingkunganya.Keterkaitan antara resiliensi dengan kesehatan juga dapat dijelaskan melalui peran emosi positiif didalamnya. Penelitian yang dilakukan oleh Tugade dan Ferdicson (dalam Hendriani, 2018) mengambil kesimpulan bahwa individu atau sekelompok orang yang resilien akan banyak melakukan regulasi emosi dengan menggunakan emosi positifnya untuk mengantikan emosi negatif yang sering kali muncul manakala mereka tengah menghadapi situasi sulit atau kondisi yang menekan.
Studi Tugade dan Fresicson (dalam Hendriani, 2018) juga mencatat bahwa individu yang resilien memiliki karakteristik yang secara psikologis lebih sehat, seperti sifat optimistik, dinamis, bersikap antusias terhadap berbagai hal yang ditemuinya dalam hidup, terbuka terhadap pengalaman baru, dan memiliki emosionalitas yang positif.
Lebih dari itu, individu yang memiliki resiliensi yang tinggi secara proaktif dan strategis akan menumbuhkan kondisi emosi yang positif, semisal melalui humor, tehnik relaksasi, berpikir optimis dan melakukan pengubahan persepsi terhadap segala sesuatu yang pada awalnya dipandang sulit, menekan atau tidak menyenangkan menjadi sesuatu yang wajar, menyenangkan atau menantang. Dengan demikian, kondisi psikologis yang kuat akan membantu individu resilien untuk terhindar dari stres dan depresi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep resiliensi memiliki keterkaitan dengan kesehatan individu. Resiliensi memungkinkan individu untuk mampu mempertahankan kesehatanya serta kembali kekondisi stabil, baik secara fisik, psikologis maupun sosial, setelah mengalami berbagai kejadian hidup yang menekan.
Sekian artikel Universitas Psikologi tentang Teori Resiliensi dan Pengertian Resiliensi (Resilience) Menurut Para Ahli. Semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka
- Hendriani, W. (2018). Resiliensi Psikologis. 1rd ed. Jakarta Timur: Prenadamedia Group.
- Mulyani, N, S. (2011). Resiliensi Daya Tahan Menghadapi Trauma Kehidupan. Medan: USU Press.
- Universitas Psikologi: https://www.universitaspsikologi.com/2020/01/teori-resiliensi-dan-pengertian-resilience.html
- Roellyana, S. Listiyandini, R. A. (2016). Peranan Optimisme Terhadap Resiliensi pada Mahasiswa Tingkat Akhir yang Mengerjakan Skripsi. Jurnal 1 (1). Fakultas Psikologi Universitas YASRI.
Posting Komentar